23.8.15

Qiyam Al-Lail

Qiyam al-lail akan membawa lebih dekat kepada Tuhan, menjadi penebus berbagai kesalahan, dan penangkal penyakit tubuh.

PARA salaf shalih sangat rajin melakukan qiyam al-lail, di musim dingin maupun musim panas. Mereka memandang qiyam al-lail seakan-akan wajib bagi mereka.

Bahkan mereka berkata, “Setiap faqir (sufi) yang tidur di malam hari bukan karena kantuk yang tak tertahankan lagi, tentu tak sesuatu pun kan ia temukan dalam tarekat.”

Dalam hadist disebutkan, “Kalian, kerjakanlah qiyam al-lail, itu merupakan kebiasaan orang-orang salih sebelum kalian. Qiyam al-lail akan membawa kalian lebih dekat kepada Tuhan kalian. Ia juga akan menjadi penebus berbagai kesalahan kalian, pencegah dosa, dan penangkal penyakit tubuh.”

Ummu Sulaiman ibnu Dawud berkata, “Anakku! Jangan tidur malam, karena orang yang tidur malam, di hari kiamat akan datang sebagai orang tanpa kebaikan.”

Allah Ta`ala telah mewahyukan kepada Dawud a.s., “Hai Dawud! Orang yang mengaku cinta kepada-Ku, sementara saat malam tiba ia tidur melupakan-Ku, sungguh ia telah berbohong.”

Dalam sebuah hadist dinyatakan, “Sungguh, Allah Ta`ala akan membanggakan seorang hamba yang melaksakan tahajud di malam yang sangat dingin kepada para Malaikat-Nya. Dia berfirman, `Lihatlah hambaku, ia bangkit dari tempat tidurnya, meninggalkan dunia dan istrinya yang cantik, kemudian dengan kalam-Ku ia bermunajat kepada-Ku. Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuninya.”

Imam Zainal `Abidin r.a. berkata, “Suatu malam, karena terlalu kenyang makan roti, Yahya ibnu Zakariya a.s. tidur dan meninggalkan shalat malamnya. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, `Hai Yahya, jika Kuperlihatkan surga Firdaus kepadamu sekali saja, niscaya tubuhmu akan meleleh, lalu setelah air mata, engkau menangis darah, dan setelah mengenakan kain mori kasar perkabungan, engkau akan mengenakan baju besi.”

Suatu hari ketika melaksanakan shalat malam, `Umar ibnu al-Khaththab r.a. jatuh pingsan, mungkin karena ada satu ayat melewatinya. Sehingga, selama beberapa hari ia dijenguk bagai orang sakit. Selama kekhalifahannya, `Umar tidak pernah tidur, siang maupun malam, melainkan sekadar mengangguk karena kantuk, itu pun dalam keadaan duduk.

Ia berkata, “Jika aku tidur malam, hilanglah jiwaku, dan jika aku tidur siang, hilanglah rakyatku, sementara aku akan diminta pertanggungjawaban atas mereka.”

`Abdullah ibnu Mas`ud akan segera bangkit bertahajud jika penduduk telah tertidur pulas dan terdengar gema seperti gemuruh lebah, sampai memasuki waktu subuh.

Jika suatu saat Sufyan ats-Tsauri lalai akan dirinya akibat banyak makan, ia akan (menebusnya dengan) bangkit sepanjang malam, dan berkata, “Sungguh, keledai akan ditambah berat bebannya jika makannya ditambah.”

Setelah shalat Isya’, Thawus r.a. berbaring di ranjangnya, tapi ia demikian gelisah, dan tidak tidur sampai subuh. Seringkali ia bangkit sendirian dari mulai waktu Isya sampai terbit fajar, atau ia duduk sambil menunduk dan tidak berbicara sedikit pun sampai pagi. Ia berkata, “Sungguh, ketakutan terhadap neraka Jahannam akan melenyapkan tidur para hamba.”

Berselimut akan membuat para salaf shalih merasa takut. Bahkan, sebagian dari mereka menganggap, tidur di kasur yang empuk merupakan perbuatan tercela. Di antara mereka ada yang pernah duduk dan tertidur di atas kasur sekembalinya dari perjalanan jauh, dan tidak melaksanakan shalat malam. Setelah itu ia bersumpah untuk tidak tidur di kasur, sampai menjelang kematian.


Shahib al-`Abid berkata, “Setiap kali aku teringat neraka Jahannam, rasa kantukku terbang."

`ABDUL Aziz ibnu Abi Dawud menghampiri kasur, kemudian ia meletakkan tangannya di atas kasur itu, dan berkata, “Betapa empuknya kamu, tapi kasur surga lebih empuk darimu.” Kemudian ia bangkit melaksanakan shalat, terus menerus shalat sampai fajar.

Fudhail ibnu `Iyadh berkata, “Sungguh, aku sedang melaksanakan qiyam al-lail, kemudian fajar terbit, dan hatiku pun gemetar. Lalu aku berkata, ‘Siang telah datang membawa berbagai petaka.’”

Bisyir al-Hafi, Abu Hanifah, Yazid al-Raqasyi, Malik ibnu Dinar, Sufyan ats-Tsauri, dan Ibrahim ibnu Adham senantiasa melaksanakan qiyam al-lail setiap hari, sampai akhir hayat mereka. Suatu saat, Bisyir al-Hafi ditanya, “Tak pernahkah engkau istirahat di waktu malam, sekejap saja?” Bisyir menjawab, “Sungguh, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam telah bangkit (untuk qiyam al-lail) sampai kedua kakinya bengkak dan mengalirkan darah, padahal Allah Ta`ala telah mengampuni –kalaupun ada– dosanya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Bagaimana aku bisa tidur, sementara aku sama sekali tidak tahu apakah Allah telah mengampuni satu saja dari dosaku.”

Hasan al-Bashri r.a. berkata, “Tak seorang pun di antara kalian meninggalkan qiyam al-lail, melainkan karena dosa yang telah diperbuatnya. Setiap malam, diri kalian menghilang saat matahari mulai tenggelam. Bertobatlah kepada Tuhan kalian, agar kalian bisa melaksanakan qiyam al-lail.” Seringkali al-Bashri berkata, “Qiyam al-lail akan terasa berat bagi orang yang banyak menanggung beban kesalahan.”

Shillah ibnu Asyim r.a. selalu memancangkan kakinya untuk shalat sejak waktu Isya sampai Subuh. Dan seusai shalat ia akan berkata, “Ya Rabb, seretlah aku dari neraka, karena orang sepertiku tak layak memohon surga.”

‘Utbah al-Gulam, jika selesai berwudhu, sebelum beranjak untuk shalat ia akan berkata, “Ya Allah, Sungguh diriku telah melakukan berbagai maksiat dan keburukan yang tak sanggup kutanggung, sehingga aku layak mendapat hina, noda, dan masuk neraka. Dan inilah aku yang ingin bersimpuh di hadapan-Mu, di balik semua penentang yang ada di muka bumi ini. Aku memohoh agar Engkau mengampuni salah seorang di antara mereka, sehingga aku pun mendapat percikan ampunan itu.”

Al-Hasan ibnu Shalih senantiasa melaksanakan qiyam al-lail bersama budak perempuannya. Suatu hari, ia menjual budak perempuannya itu kepada suatu kaum. Saat tiba waktu Isya, budak perempuan ini mulai shalat, dan terus menerus shalat sampai fajar menyingsing. Budak itu berkata kepada penghuni rumah, “Wahai penghuni rumah, semua waktu akan berlalu dari malam. Bangkitlah dan shalatlah kalian wahai penghuni rumah.” Penghuni rumah berkata kepada budak itu, “Kami tidak bangun sampai fajar.”

Kemudian sang budak mendatangi al-Hasan ibnu Shalih, dan berkata, “Engkau telah menjualku kepada orang-orang yang selalu tidur sepanjang malam. Dan aku takut menjadi malas karena menyaksikan tidur mereka.” Setelah itu al-Hasan pun membelinya kembali, karena rasa sayang kepadanya dan untuk memenuhi haknya.

Setiap malam, Rabi`ah al-Adawiyah berwudhu dan memakai wewangian, lalu berkata kepada suaminya, “Apakah Engkau membutuhkanku malam ini?” Jika suaminya mengatakan tidak, maka ia pun akan bangkit untuk shalat sampai subuh. Dan di awal malamnya itu ia akan berkata, “Tuhanku, mata orang-orang telah terlelap, bintang-bintang tenggelam, dan kerajaan dunia pun telah mengunci pintu-pintunya. Tapi pintu-Mu tak pernah ditutup, maka ampunilah dosaku.” Setelah itu ia merentang kedua kakinya untuk shalat, dan berkata, “Demi Keagungan dan Keperkasaan-Mu, inilah tempatku di hadapan-Mu sampai pagi selama aku hidup.”

Al-Mugirah ibnu Habib berkata, “Suatu malam, kedua mataku menatap Malik ibnu Dinar, saat itu ia telah berdiri tegak di hadapan Allah Ta`ala sejak waktu Isya sambil menggenggam janggutnya. Ia terus menangis dan berkata, `Ya Rabb, kasihilah Malik yang telah beruban ini, sehingga bisa shalat sampai terbit fajar.’”

Ia juga berkata, “Selama satu bulan aku memperhatikan `Abdul Wahid ibnu Zaid. Aku tidak pernah melihatnya tidur, walau hanya sebentar. Dan ia berkata kepada penghuni rumah, ‘Wahai penghuni rumah, setiap detik terus berlalu dari malam ini. Waspadalah kalian di rumah yang kalian tiduri ini, sebentar lagi rayap akan memangsa kalian.”

Shahib al-`Abid adalah budak milik seorang perempuan di Bashrah, ia selalu beribadah sepanjang malam. Suatu hari, sang majikan berkata kepadanya, “Sungguh, ibadahmu sepanjang malam akan mengganggu pelayananmu (padaku) saat siang.” Shahib berkata kepadanya, “Apa yang akan kulakukan? Setiap kali aku teringat neraka Jahannam, rasa kantukku terbang.”

Azhar ibnu Mugits r.a. berkata, “Suatu malam, aku melihat perempuan paling cantik yang belum pernah kusaksikan, ia bermata indah, maka aku pun berkata kepadanya, `Siapa engkau?’ Ia menjawab, `Aku diperuntukkan bagi orang yang selalu bangun di malam-malam musim dingin.”

Suatu malam, Ibrahim ibnu Adham tertidur di Bait al-Muqaddas. Tiba-tiba ia mendengar suara dari arah gurun berkata, “Qiyam al-lail akan memadamkan nyala neraka dan mengokohkan kaki di atas shirath. Maka, jangan kau remehkan qiyam al-lail.” Sejak saat itu, Ibrahim ibnu Adham tidak pernah lagi meninggalkan qiyam al-lail, sampai saat ia meninggal.*


Dari buku Terapi Ruhani karya Syaikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’ani.

No comments:

Post a Comment