6.8.14

ISIS, Intelijen dan Perang antar Jenderal

Pemerintah RI memanfaatkannya untuk kepentingan proyek War on Terrorism melalui BNPT dengan landasan filosofis yang sama sebagaimana yang dianut Barat!

Oleh: Abu Nisa  

SUNGGUH luar biasa opini tentang menyoroti DAIS (Daulah Islamiyah Iraq wa Syam) atau  ISIS/ISIL. Entah apa yang menyebabkan kasus ISIS ini memunculkan tanggapan statemen dari berbagai pihak.

Mulai dari SBY, Panglima TNI, Kapolri, Kemenko Polhukam, Kemenkum HAM, Kemenkominfo, Kemenag, BNPT,  Dirjen Pemasyarakatan, Deputi Bidang Kerjasama Internasional, tokoh masyarakat, akademisi, pengamat, dan lain-lain. Hingga SBY mengadakan sidang kabinet dengan agenda secara khusus menyikapi masifnya dukungan atas ISIS di Indonesia. Dan sidang kabinet itu menghasilkan keputusan politik yang disampaikan melalui Menko Polhukam bahwa ideologi ISIS dinyatakan dilarang.

Tidak bisa dipungkiri, opini tentang ISIS seolah mengalihkan sementara opini tentang kebiadaban Israel di Gaza Palestina dan laporan dugaan manipulasi data secara sistematis atas hasil Pilpres oleh kubu Prabowo-Hatta.

Opini ISIS yang tiba-tiba ditanggapi berbagai kalangan dalam kurun beberapa hari ini  setidaknya menyisakan pertanyaan besar;

Pertama, ada momentum besar yang memicu kriminalisasi terhadap mereka yang mendukung ISIS justru terjadi di dalam penjara.

Adalah Ustadz Abubakar Ba’asyir yang selamanya ini didorong sebagai ikon “teroris” di Indonesia melakukan baiat atas ISIS di penjara pasir putih Nusakambangan. Belakangan tiba-tiba semuanya merasa kebakaran jenggot. Statement Amir Syamsuddin sebagai Menkum HAM untuk memecat kepala penjara. Termasuk pengakuan Dirjen Kemasyarakatan bahwa telah terjadi pembaiatan Ustadz ABB konon di bawah tekanan di dalam penjara. Tentu ini sesuatu yang naif.

Pertanyaan besarnya, kenapa peristiwa pembaiatan itu tetap berlangsung dan berjalan lancar? Dan seolah-olah peristiwa itu menjadi momentum legitimasi untuk membenarkan keberadaan dukungan atas ISIS berjalan masif di negeri ini.

Termasuk juga peristiwa pembaiatan sejumlah aktivis islam dengan acara yang khas di sebuah hotel kawasan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta tempat yang lain seperti di Bima, Solo, Makassar. Serta beberapa rencana baiat di beberapa tempat yang lain di Malang dan Sidoarjo.

Semuanya menunjukkan bahwa terlalu lugu untuk mengatakan bahwa tidak mungkin intelijen Indonesia tidak mengetahui peristiwa ini.

Anehnya belakangan fenomena dukungan atas ISIS itu justru diblow-up dengan skala besar oleh berbagai media seperti layaknya infotainment.

Hari Rabu, 6 Agustus 2014 ini di Makassar, tepatnya di Studio Mini Harian Fajar, Graha Pena Fajar lantai 4, bahkan ada acara terkait masalah ini dengan menghadirkan pembicara antara lain: Ansyaad Mbai (Ketua BNPT), Prof Dr H Abd Rahim Yunus, MA, (MUI dan FKUB Sulsel), Prof. Dr H M Arifin Hamid, SH, MH (FKPT BNPT Sulsel), dan Ir Moh Kemal Shodiq (Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Sulsel) dengan moderator Drs. H. Waspada Santing, M.Sos.I, M.HI dengan tema: “Double Warning Antisipasi ISIS”, jam 13.00-15.00 WITA.

Padahal deklarasi dukungannya telah dilakukan sejak tanggal 29 Juni atau sebulan yang lalu.

Kedua, jika benar yang disampaikan oleh Snowden seorang mantan pegawai di National Inteligent AS yang menyatakan bahwa AS dan Inggris ada di belakang ISIS, maka hal ini membuktikan bahwa target opini internasional terhadap kemunculan ISIS adalah untuk menciptakan black-campaign terhadap para mujahidin sekaligus terhadap syariat dan khilafah yang diperjuangkannya.

Dengan kata lain, inilah strategi radikalisasi terhadap kelompok Islam sekaligus deradikalisasi. Setelah diradikalisasi maka kemudian distigmatisasi. Sedangkan deradikalisasinya dalam bentuk upaya adu domba dan islamophobia yang berujung pada krisis keyakinan kaum Muslimin terhadap ajarannya sendiri terutama tentang jihad.

Dalam konteks Indonesia, maka pemerintah RI memanfaatkannya untuk kepentingan proyek war on terrorism melalui BNPT dengan landasan filosofis yang sama sebagaimana yang dianut Barat.

Lebih aneh lagi, mengapa kasus ini di blow-up saat penetapan presiden wakil presiden beserta kabinet yang disusun pasca keputusan gugatan hasil Pilpres ke MK oleh kubu Prabowo-Hatta? Ada apa gerangan?

Ketiga, atribut-atribut ISIS tidak luput dianggap sebagai barang bukti kasus terorisme.

Padahal, atribut bendera dengan kalimat “Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasullullah” adalah atribut milik semua kaum Muslim, yang siapa saja berhak menggunakan dan mengklaim, tak hanya ISIS yang hanya segelintir.

Sejak blow-up mendadak ISIS, rupanya ada rencana untuk membreidel sekaligus melarang keberadaan bendera  berkalimat “Laa Ilaha Illallah” seolah itu  sebagai representasi ISIS.

Momentum ini bisa ditengarai sebagai titik tolak “kriminalisasi” terhadap simbol-simbol perjuangan pada kelompok-kelompok Islam secara keseluruhan.

Keempat, setelah gagal menjerat kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal terutama yang memilih menggunakan jalan jihad melalui pintu legislasi secara langsung misalnya UU Ormas, rupanya dukungan atas ISIS adalah momentum untuk menjerat, membubarkan, mengkriminalisasi sekaligus mem “black campaign” nya.

Kelima, momentum dukungan atas ISIS menjadi peristiwa yang memperkuat legal aspect untuk apa yang dianggap sebagai tindak terorisme.

Implementasi UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 dan wacana amandemen/revisi terhadap UU Terorisme yang disampaikan oleh Deputi Kerjasama Internasional Harry Purwanto tidak saja mengandung substansi penindakan hukum atas aksi teror fisik namun juga pada aksi teror lisan.

Dengan dalih agar mencakup secara menyeluruh mengenai aktivitas terorisme. Diantaranya tindakan menyebar kebencian (hate speech) termasuk mengikuti pelatihan militer di Indonesia  maupun luar negeri. Atau menjadikan digital evidence sebagai barang bukti, karena selama ini dianggap baru menjadi petunjuk untuk pembuktian. Nampaknya UU Terorisme No 15/1973 dikehendaki bukan saja mampu menjerat tindakan teror fisik namun juga mampu menindak apa yang dianggap sebagai bentuk teror lisan. Kita membayangkan betapa banyak klaim penindakan hukum atas syiar Islam karena termasuk dalam kategori menyebar kebencian (hate speech) jika amandemen UU Terorisme ini berhasil dilakukan. Bahkan bisa juga dijerat dengan UU Intelijen dan UU Darurat berkaitan dengan ancaman terhadap keamanan nasional.

Keenam, momentum ISIS mengaburkan Perang antar Jenderal

Beberapa pertanyaan besar seputar fenomena opini masif dukungan atas ISIS menyiratkan sebuah ganjalan pertanyaan lebih besar lagi ada apa sebenarnya di balik fenomena opini dukungan atas ISIS?

Di tengah mulai tergambarnya adanya indikasi rekayasa permainan manipulasi suara Pilpres secara sistemik, tak bisa ditutup di balik ini antara “peperangan konflik kepentingan” antar jendral dan antar elit dengan melibatkan tim rekayasa politik –bahkan tim cyber—dalam pelaksanaan Pilpres yang dituding penuh kecurangan.

Tak bisa ditutupi, sesungguhnya perang kepentingan Pilpres tahun 2014 adalah “perang intelijen” dan “perang antar jenderal” ambisius yang ingin berpolitik. Tak perlu disebut satu-persatu mereka. Tinggal baca kliping koran, akan nampak siapa lawan siapa, antara Timses Capres Jokowi dan Prabowo. Ujungnya adalah para “jenderal-jenderal ambisius”.

Sesungguhnya ISIS sendiri tak mungkin begitu berpengaruh besar bagi umat Islam di Indonesia. Mengingat mayoritas ormas-ormas Islam di Indonesia memiliki akar kuat yang tak mudah goyah. Hanya saja, mencari sasaran korban pada ISIS adalah cara mudah mengkaburkan pandangan masyarakat, atas keterlibatan dan intrik-intrik politik yang semrawut di Indonesia.

Akhirnya fenomena opini ISIS yang ujungnya bisa dibaca pada “kriminalisasi” segala hal berbau syariah, tak bisa serta-merta dibaca benar-benar murni sebagai peristiwa alamiah semata.  Terlalu sederhana jika kasus ini dilepas begitu saja dari peran intelijen  yang dalam banyak kasus dalam sejarah di negeri ini kaya dengan intrik politik dan rekayasa dalam usaha-usaha melemahkan gerakan Islam. Wallahu a’lam bis showab.*

Pemerhati kontra intelijen


Silahkan baca...

No comments:

Post a Comment