23.7.14

Pemimpin adalah Cerminan dari yang Dipimpinnya

(Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya)

"Sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian..."

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, keluarga dan sahabatnya.

Mengapa kita sering membicarakan kejelekan pemerintah, namun melupakan kejelekan pribadi? Mengapa kita selalu mencela penguasa, dan tak pernah mencela berbagai penyimpangan kita? Sebenarnya, pemerintah adalah cermin rakyatnya.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah ditanya oleh seseorang: “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau?" Jawab Ali: “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu”. (Syadzaraat Adz Dzhahab 1/51)

Jadi, ketika penguasa seenaknya mengeruk kekayaan negara dan memenjarakan rakyat tak berdosa, penyebabnya adalah dosa rakyat yang melalaikan kewajiban dan tenggelam dalam maksiat. Demikian pula ketika rakyat memberontak dan menjatuhkan si penguasa, itu pun akibat kesalahan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, loyal kepada orang kafir, tenggelam dalam foya-foya dan menelantarkan urusan negara.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah mengatakan dalam acara Liqa’ al-baabil maftuh, yaitu acara pertemuan antara beliau dengan masyarakat umum untuk tanya-jawab, yang diadakan di rumah beliau: "Waliyyul amr, baik dari kalangan ulama’ maupun umara’, pasti punya banyak kesalahan. Akan tetapi, dalam sebuah atsar disebutkan kamaa takuunuu, yuwalla ‘alaikum* (sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian)"

*[Ini adalah atsar Abu Ishaq As Sabi’iy, salah seorang ulama tabi’in asal Kufah yang terkenal sebagai ahli hadits dan ahli ibadah. Beliau lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekhalifahan Utsman, dan wafat sekitar tahun 129 H. Keluasan ilmu beliau di bidang hadits disejajarkan dengan Imam Ibnu Syihab Az Zuhri]


Cobalah perhatikan kondisi masyarakat /rakyat..!

Para penguasa yang dzhalim merupakan hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dzhalim pula, dikarenakan dosa-dosa yang mereka lakukan. Allah ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS Al An’aam 129)

Abul Walid Ath Thurthusyi rahimahullah berkata, “Jika engkau berkata bahwa para pemimpin di zaman ini tidak sama dengan para pemimpin di zaman dahulu, maka rakyat di zaman ini pun tidak sama dengan rakyat di zaman dahulu. Jika engkau mencela pemimpinmu bila dibandingkan dengan pemimpin dahulu maka pemimpinmu pun berhak mencelamu bila dibandingkan dengan rakyat dahulu. Maka apabila pemimpinmu menzalimimu hendaklah engkau bershabar dan dia yang akan menanggung dosanya..."

Oleh karena itu, berkuasanya penguasa yang dzhalim bukanlah penyakit riil dari umat ini, bahkan penyakit yang riil berasal dari rakyat yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.

Shahabat Ibnu ’Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghadap ke arah kami dan bersabda:

" يا معشر المهاجرين خصال خمس إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ : لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا. َلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ .وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا .وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ .وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ".

Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang jika kalian terjatuh ke dalamnya –dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak menjumpainya-
  1. Tidaklah nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya,
  2. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kedzhaliman penguasa atas mereka.
  3. Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan.
  4. Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka miliki
  5. Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.”

Derajat Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2/1332 no. 4019), Abu Nu’aim (8/333), al-Hakim (no. 8623) dan Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash-Shahihah no. 106)

Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه مالا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك مالا يستحقونه وضربت عليهم المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم وليس في الحكمة الالهية ان يولى على الاشرار الفجار الا من يكون من جنسهم

Ibnul Qayyim berkata, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.
  • Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian.
  • Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka.
  • Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat.
  • Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya.
  • Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya.
  • Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka. Dan setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala. [Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178]

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar Ra’du: 11)

Saatnya introspeksi diri, tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semuanya itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka tidak peduli dengan agamanya, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka bersikap munafik, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka. Jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mengumbar aib penguasa di muka umum. Mereka malah akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan betapa banyak kesalahan dan dosa yang mereka perbuat.


Memohon kepada Allah, agar pemimpin kita diberi hidayah dan taufiq!

Kebiasaan semacam ini telah menjadi ciri ahlus-sunnah sejak masa silam. Meskipun bisa jadi ada pemimpin mereka yang zalim, mereka berusaha untuk tetap mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya.

Imam al-Barbahari mengatakan:

وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى وإذا سمعت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله

Jika Anda melihat ada orang yang mendoakan keburukan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu (aqidahnya menyimpang). Dan jika Anda melihat ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunah, insya Allah.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51)

Selanjutnya, al-Barbahari membawakan riwayat perkataan seorang ulama besar, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, yang memberikan nasihat:

لو كان لي دعوة مستجابة ما جعلتها الا في السلطان

Andaikan saya memiliki satu doa yang pasti terkabulkan, tidak akan aku ucapkan kecuali untuk mendoakan kebaikan pemimpin.

Kemudian ada orang yang bertanya, mengapa harus demikian? Beliau menjawab:

إذا جعلتها في نفسي لم تعدني وإذا جعلتها في السلطان صلح فصلح بصلاحه العباد والبلاد فأمرنا أن ندعو لهم بالصلاح ولم نؤمر أن ندعو عليهم وإن جاروا وظلموا لأن جورهم وظلمهم على أنفسهم وصلاحهم لأنفسهم وللمسلمين

Jika doa itu hanya untuk diriku, tidak akan kembali kepadaku. Namun jika aku panjatkan untuk kebaikan pemimpin, kemudian dia jadi baik, maka masyarakat dan negara akan menjadi baik. Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan bagi mereka, meskipun mereka zalim. Karena kezaliman mereka akan ditanggung mereka sendiri, sementara kebaikan mereka akan kembali untuk mereka dan kaum muslimin.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51)

Wallahu Ta'ala a'lam

Dirangkum dari:
[Sumber]


Jangan Maksiat dalam Memilih Pemimpin

SEGALA perintah Allah pasti baik dikerjakan. Segala larangan Allah pasti baik ditinggalkan. Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Baik dan hidup sesuai aturan Allah adalah kebaikan.

Maka jangan bermaksiat kepada Allah dengan melanggar aturan Allah, karena itu adalah sumber keburukan. Keburukan akibat kemaksiatan yang dilakukan manusia tidak saja berdampak pada dirinya, bahkan batu, binatang, dan tumbuh-tumbuhan pun bisa merasakan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda:

(Batu) Hajar Aswad turun dari surga dalam kondisi lebih putih dari air susu, kemudian dosa-dosa anak Adam menjadikannya kehitaman.” (HR Tarmizi).

Bahkan kata Imam Abu Aliyah Ar Riyah, “Kerusakan di muka bumi terjadi karena kemaksiatan. Langit dan bumi hanya menjadi baik karena ketaatan” (lihat Tafsir Ibnu Katsir QS Ar Rum: 41).

Tidak ada fakta dengan mencuri, meninggalkan sholat, zina, mabuk-mabukan, dan kemaksiatan lainnya lalu seseorang merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Tidak ada!

Oleh sebab itu, jangan maksiat memilih pemimpin. Apa bentuk kemaksiatan dalam memilih pemimpin itu? Disamping sistem Barat yang tidak islami, kemaksiatan memilih pemimpin itu adalah:

►PERTAMA, memberikan amanah kepemimpinan kepada orang yang tak layak memimpin. Allah Ta’la berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An Nisa: 58)

Rasulullah bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً عَلَى عَصَابَةٍ وَ فِيْهِمْ مَنْ هُوَ اَرْضَى اللهُ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ اْلمُؤْمِنِيْنَ. الحاكم

Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yg dipilihnya, maka dia telah BERKHIANAT kepada Allah dan Rasul-NYA.” (HR Al Hakim).

Jangan berkhianat dan bermaksiat kepada Allah dengan memilih pemimpin yang tak layak memimpin.

Imam Hasan Al Bashri mengingatkan, “Kalian diberi pemimpin seperti ini karena diri kalian sendiri. Pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian. Dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian.”(Kitab Kasyfu al Khafa, dikutip dari As Sunnah, Edisi 06, 2014).

►KEDUA, memilih pemimpin dari kalangan orang-orang kafir, atau dikelilingi dan didukung oleh orang-orang kafir, atau orang fasiq (pelaku dosa besar). Allah mengingatkan;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS An Nisa: 144).

Buya HAMKA pernah berpesan, “Biar kalah asal tidak salah”. Tidak salah dalam arti tidak melabrak ajaran agama. Kalau ini komitmen kita bersama dalam memilih pemimpin, maka kebenaran takkan kalah. InsyaAllah. Wallahu A’lam.*/Lidus Yardi, aktivis Muhammadiyah Kuansing Riau


Inilah Kita..?


Jujur (& cenderung polos), merakyat (banget), sederhana (bin simple) dan suka baju kotak-kotak (terkotak-kotak)... dan memang JkwJk adalah Kita banget!



Ada lagi tambahan... ternyata "kita" suka banget sama hiburan... nyanyian, guyonan dan goyangan yang semuanya dapat "terpuaskan" oleh media-media TV yang ada di negeri ini. [Lalai, simple & males mikir ...EGP!]


Wajib baca:

2 comments:

  1. ORANG CINA ITU KATAYA PINTER DAGANG, MEREKA TAHU BARANG DAN TAHU PASAR, MAKA DENGAN SEDIKIT TIPU-TIPU DAN BANYAK IKLAN, BARANG BIASA YANG BERMERK JKW BISA LAKU DI PASARAN.

    ReplyDelete
  2. Jkw= JUJUR MERAKYAT SEDERHANA
    Kemeja cukup yang 100rb, tidak pakai perhiasan, celana cukup yang 100rebuan dan juga sepatu.
    Supaya lebih merakyat dan sederhana jkw cukup menyekolahkan anaknya di SINGAPORE.

    Jujur gw tahu dari tv eh metrotv.. heheh

    ReplyDelete