29.6.14

Cinta Orang-orang yang Dicintai Allah

Mengapa masih ada dusta yang menggores dalam cinta kita kepada Allah. Mengapa kita masih hendak menipu atas pengakuan rindu kita kepada Allah. Adakah hari-hari kita benar-benar telah tersibukkan dengan tautan kebaikan...


Sering menangis karena Allah merupakan
sifat akhlak orang-orang Shalih
CINTA adalah pembahasan yang tak pernah kering dari lidah manusia. Bahkan boleh jadi cinta ada sejak awal manusia diciptakan.
Uniknya, meski cinta begitu manis untuk diucap dan dibayangkan. Namun demikian, tak sedikit orang lalu kelabakan ketika ditanya tentang bukti kecintaannya itu. Sebab ia memang tak semudah ketika diukir dalam lisan dahulu.

Bagi orang beriman, cinta tentu saja tak sekedar pesona yang menjadikan hidup jadi terasa indah. Ia bukan semata pemanis bibir yang membuat setiap ucapan menjadi puitis laksana seorang pujangga. Tapi cinta hakiki adalah pernyataan iman seorang hamba kepada Sang Pencipta.

Dr. Aidh al-Qarni menggoreskan sebuah kalimat indah dalam karyanya yang sangat populer, La Tahzan (jangan bersedih). Jadilah orang-orang yang termasuk kekasih Allah agar engkau merasakan kebahagiaan sejati. Sebab orang itu dikatakan berbahagia ketika ia mencurahkan seluruh orientasi hidupnya untuk sesuatu yang ia cintai. Tiada sesuatu yang paling membahagiakan seorang hamba kecuali ibadah yang ia persembahkan semata-mata hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata.

Iya. Inilah kekuatan cinta sejati. Ia bisa berubah menjadi kekuatan tersembunyi yang tak terhingga batasnya. Ia mampu menguatkan di saat orang lain tak sanggup lagi bergerak. Sejenak, tengoklah ibunda kita tersayang. Ialah ibunda yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan, dan mendidik kita selaku anaknya. Semua itu tak lain sebagai buah cinta seorang ibu terhadap belahan jiwanya.

Pun dengan apa yang dirasakan oleh para generasi sahabat terdahulu. Sontak seorang Bilal mendapatkan energi baru dalam hidupnya. Bilal langsung “lupa” akan ancaman cemeti Umayyah, sang majikan. Hanya karena ia telah berasyik dengan lautan cinta yang sejati.

Duhai, alangkah malunya diri ini, sedang sebagian orang-orang shalih terdahulu pernah berkata. Tidaklah aneh jika orang-orang beriman lalu mencintai Allah, Sang Pencipta. Tapi yang ajaib adalah sebab Allah pun mencintai mereka. Sedang Dia-lah yang menciptakan mereka.

Allah pula yang memberi rezeki, merawat, bahkan menyediakan segala apa yang mereka butuhkan. Tapi yang ajaib adalah sebab Allah tak pernah butuh dengan seluruh amalan yang dilakukan, namun Dia tetap saja mempermudah hamba-hamba-Nya beribadah dan berbuat amal kebaikan. Allah berfirman;

يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

…Allah mencintai mereka sedang mereka cinta kepada-Nya” (QS al-Maidah [5]: 54)

Jika benar demikian, lalu mengapa masih ada dusta yang menggores dalam cinta kita kepada Allah. Mengapa kita masih hendak menipu atas pengakuan rindu kita kepada Allah. Adakah hari-hari kita benar-benar telah tersibukkan dengan tautan kebaikan.

Ibarat kereta api yang disesaki dengan gerbong-gerbong kebaikan yang saling bertaut tanpa henti. Ataukah justru waktu kita masih banyak terisi dengan kesia-siaan. Sedang di saat yang sama, masih saja kita mengaku sebagai orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Akhir kata, sejarah kehidupan manusia menjadi pijakan kita saat ini. Ada pilihan dalam setiap pijakan. Di sana ada kisah Paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muththalib yang menjemput kematiannya di medan Uhud. Ia gugur atas nama cinta dan penghambaan makhluk kepada Rabbnya. Layaknya Hanzhalah yang rela meninggalkan dekapan istrinya di malam pernikahan. Sebab di sana ada sesuatu yang lebih indah dari segalanya. Menikmati dekapan cinta sejati, Sang Ilahi Rabbi.

Namun semoga kita juga tak lupa. Karena dalam sejarah juga ada nama Firaun, yang berkalang tanah demi cinta kepada kekuasaan di dunia. Pun ada Qarun, sebagai simbol orang-orang yang tamak dan berlebihan dalam mencintai harta dunia. Sebagaimana, sejarah juga menggores pelajaran, bahwa dahulu ada Qais dan Laila yang tergila-gila hanya gara-gara cinta sepasang anak manusia.*/Masykur Abu Jaulah

No comments:

Post a Comment