28.12.13

Fitnah itu Akhirnya Terungkap

Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)

Pendahuluan

Bagian pertama dari makalah ini - `Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah' - mengungkap berbagai fakta yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr. Alberto D. Pastore Ph.D., berjudul ‘Stranger than Fiction’, yang menceritakan bagaimana peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan atas gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. pada tanggal 11 September 2001. Perbuatan keji itu dinisbahkan kepada 19 orang "teroris Islam" dari Al-Qaidah dan para pendukungnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk konon menurut fitnah itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai pimpinan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari ini para “teroris Islam” itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan pengadilan oleh pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.

Dua orang pejabat negara yang melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq (2004), mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael Meacher, dan mantan menteri keuangan pemerintah Bush, Paul O’Neill mengungkapkan fakta, berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi motivasi sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada tanggal 11 September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum muslimin.

Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut sebagai “musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin”.

Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan artikel, ’Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’ (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rejim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003). Selain itu, atas pertanyaan wartawati Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush mengakui serangan terhadap Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11 September 2001, serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah Amerika Serikat jauh sebelumnya.

Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah

Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih “perang membasmi terorisme”, Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan “menampung kelompok teroris Al Qaidah”. Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.

Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih Iraq mengembangkan dan menyimpan “senjata-pemusnah-massal”, berdiri di belakang serangan 11 September 2001, dan mendukung serta melindungi Al-Qaidah. Pada tanggal 28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden Bush melaporkan, “The British government has learned that Saddam Husein recently sought significant quantities of uranium from Africa” (Pemerintah Inggeris telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein baru-baru ini telah mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar uranium dari Afrika). Enambelas butir kata yang kini menjadi gunjingan orang banyak itu kini ternyata didasarkan pada dokumen yang palsu, atau dipalsukan, yang digunakan sebagai dalih oleh Presiden Bush untuk mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan melibas Iraq. Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke Iraq dilancarkan pada medio Maret 2003, bahkan mengintimidasi, bahwa “dalam tempo 45 jam setelah perintah Saddam Hussein dikeluarkan Iraq akan mampu melancarkan serangan dengan senjata-senjata nuklir, kuman dan biologis”. Kalau sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap Iraq memang harus segera dilaksanakan, sebagaimana alasan Bush, “sebelum Iraq dapat menyerang kita”. Hanya saja ternyata pernyataan itu bohong dan seratus persen fitnah, yang digunakan sebagai dalih untuk menyerang Iraq.

Sebenarnya direktur CIA, George Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan Oktober 2003, secara pribadi pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung Putih agar menghapus “16-kata” itu dari konsep pidato Presiden Bush yang menuduh Iraq telah mengusahakan untuk “membeli lima ratus ton uranium-oksida” dari Niger. Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung jawab dengan “informasi intelijen” itu, karena diketahui didasarkan pada dokumen dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden Bush tetap menekan CIA agar mengeluarkan analisis yang nadanya mendukung “temuan” Presiden Bush itu. (‘The Amazing Stories of Condoleezza Rice', http://www.buzzflash.com, July 3, 2003).

Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar laporan menteri luar-negeri Collin Powell, menolak informasi tentang upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena diketahui isi dokumen itu memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan. Antara lain sebagai contoh, presiden Niger yang disebut-sebut dalam dokumen intelijen presiden Bush itu ternyata adalah tokoh yang telah lama meninggal dunia. Tidak heran kalau dokumen semacam itu ditolak mentah-mentah oleh duta-besar Niger di PBB (Ibid.)

Karena kecaman yang bertubi-tubi terhadap kesemberonoan Presiden Bush menggunakan intelijen yang tidak akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada bulan Mei 2003, menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush mengumbar kebohongan, “We’ve found the weapons of mass destruction. You know, we found biological laboratories. And we’ll find more weapons as time goes on. But for those who say we haven’t found the banned manufacturing devices or banned weapons, they’re wrong. We found them” (Kita telah menemukan senjatasenjata pemusnah massal itu. Kita telah menemukan laboratorium senjata-senjata kimia. Dan kita akan menemukan lebih banyak lagi senjata dengan berjalannya waktu. Mereka yang mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat atau senjata terlarang itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya). Sampai hari ini nyatanya pasukan Amerika dan Inggeris di Iraq belum juga berhasil menemukannya (The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).

Kini fitnah busuk itu terungkap satu per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab. Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George's Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip oleh http://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)

Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.

Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu (“... they had received pilot training -with courtesy of the CIA (?)- but were considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid.)

Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedung-kembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak. Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan “orang dalam”, yang mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad.

Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.

Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)

Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan -“tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dengan peristiwa serangan tanggal 11 September 2001”. Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19 Maret 2003 telah menjadi negeri jajahan Amerika.

Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan -keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan untuk menyerang Iraq- ketika ditanya pers tentang senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan enteng menjawab, “Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah tahu dimana barang itu.” (William Pitt, ‘Though Heavens Fall’, July 25, 2003)

Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong *

Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan -mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadap Iraq, dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada Inggeris. Penjelasan resmi selama ini ialah bahwa setelah gedung-kembar World Trade Center di New York dihantam dan dihancurkan oleh dua buah pesawat bunuh-diri pada 11 September 2001, maka tindak balasan terhadap Al Qaidah yang berpangkalan di Afghanistan merupakan langkah pertama yang dinilai wajar dalam rangka perang global membasmi terorisme. Kemudian, karena Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggeris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas ke Iraq. Namun teori tersebut tidak cocok dengan kenyataan yang ada. Kebenaran barangkali akan jauh lebih kelam.

Masyarakat dunia kini telah mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk pembentukan Pax Americana yang mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu) menteri pertahanan Dick Cheney (sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld (sekarang menteri pertahanan), Paul Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb Bush (adik Presiden Bush), dan Libby Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen itu, yang diberi judul ‘Membangun Kembali Pertahanan Amerika’, selesai ditulis pada bulan September 2000 (satu tahun sebelum peristiwa 11 September 2001)oleh kelompok think-tank neo-kon, Project for the New American Century (PNAC).

Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik di Iraq yang tak terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran dengan kekuatan yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk melahirkan persoalan tentang rejim Saddam Hussein”.

Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan, Amerika Serikat harus “mencegah negara-negara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar”. Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB”.

Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap dipelihara .. karena “Iran akan menjadi ancaman besar terhadap kepentingan Amerika Serikat seperti yang pernah dilakukan oleh Iraq”. Dokumen itu juga menyoroti Cina untuk dilakukan “perubahan rejim”, dengan menyatakan bahwa “sekarang sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Tenggara”, yang kemudian menjadi dasar untuk membuka apa yang disebut oleh Presiden Bush “front kedua perang membasmi terorisme di Asia Tenggara”, yang menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara. Dalih “front kedua” itu disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah. Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya modus serangan WTC New York oleh “teroris”.

Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruang-angkasa” untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.

Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, dan Iran, sebagai rejim yang berbahaya -‘axis of evil’- dan menyatakan adanya rejim-rejim itu membenarkan akan kebutuhan “sistem komando dan kendali yang mendunia”. Dokumen itu benar-benar memuat cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen itu kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian besarnya orang Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September 2001 tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini. Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.

Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001. Yang lebih aneh lagi -dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme- pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh di Pennsylvania pada pukul 10.06 pagi. Terhadap kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat buru-sergap yang menyambang dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi? Ada prosedur standar dari FAA (Federal Aviation Agency -Badan Penerbangan Federal AS) keharusan menyergap setiap pesawat yang dibajak. Antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Juni 2001 saja tidak kurang dari 67 kali pesawat-pesawat buru-sergap dari NORAD (komando pertahanan udara Amerika Utara) menyergap dan menggiring pesawatpesawat yang mencurigakan, atau terbang melenceng dari jalur terbang yang telah ditetapkan. (AP, August 13, 2002)

Apakah kelambanan itu hanya karena ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan, atau bersikap masa bodoh? Atau apakah operasi pertahanan udara Amerika Serikat secara sengaja lengah pada tanggal 11 September 2001 itu? Kalau demikian halnya, mengapa dan atas perintah siapa ? Mantan jaksa federal Amerika Serikat, John Loftus, mengatakan, “Informasi yang disampaikan oleh badanbadan intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya, sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka”.

Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak telihat ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam Pakistan telah merundingkan ekstradisi Osamah bin Ladin ke Pakistan untuk diadili sehubungan dengan kasus 11 September 2001. Namun seorang pejabat pemerintah Amerika Serikat dengan ketus berucap, “Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap”. Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih lanjut, “tujuan kita bukan untuk menangkap Osama bin Ladin” (AP, April 5, 2002). Pernyataan itu dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve ABC News, bahwa “FBI headquarters wanted no arrests” (FBI tidak berniat untuk menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002). Dan pada bulan November 2001 angkatan udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali menemukan tempat bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka tidak bisa melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002). Tidak satu pun dari bukti-bukti yang terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah sendiri, seperti gemuruhnya gembar-gembor tentang “perang membasmi terorisme”.

Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang disebut “perang membasmi terorisme” itu digunakan sebagian besar hanya sebagai isapan jempol untuk menutup-nutupi tujuan strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan Majelis Rendah Inggeris, “Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001” (Sk. The Times, London, Juli 17, 2002). Menteri pertahanan Donald Rumsfeld sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke Iraq, sehingga pada 10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk menemukan bukti yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11 September 2001. CIA kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME, May 13, 2002).

Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, “Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya. Iraq menjadi faktor yang berpengaruh mendestabilisasi ... aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah”. Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu “intervensi militer” adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).

Bukti lainnya sehubungan dengan rencana invasi ke Afghanistan juga ada. BBC melaporkan (September 18, 2001) bahwa Niaz Niak, mantan menteri luar-negeri Pakistan dibisiki oleh seorang pejabat Amerika Serikat dalam sebuah pertemuan di Berlin pada medio-Juli 2001 (dua bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001) bahwa “tindakan militer terhadap Afghanistan akan dilakukan pada medio-Oktober”. Sampai dengan bulan Juli 2001 pemerintah Amerika Serikat masih memandang Taliban sebagai sumber stabilitas di Asia Tengah yang memungkinkan untuk membangun jalur pipa hidro-karbon dari ladang-ladang minyak dan gas bumi di Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, melalui Afghanistan dan Pakistan, menuju pantai Lautan Hindia. Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam dengan angkuh, “atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas, atau kami akan kubur anda dengan karpet bom” (Inter Press Service, November 15, 2001).

Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Sebenarnya telah ada preseden sebelum ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden Franklin D. Roosevelt pernah menggunakan pendekatan persis seperti ini dalam hubungan dengan peristiwa Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Beberapa peringatan pendahuluan akan adanya serangan terhadap Pearl Harbor telah diterima oleh pemerintah di Washington, tetapi informasi itu tidak pernah diteruskan kepada armada Amerika Serikat di Pasifik. Kemarahan nasional yang timbul akibat peristiwa tersebut berhasil menggerakkan rakyat Amerika yang sebelumnya enggan terjun ke dalam Perang Dunia ke-2 yang terjadi di Eropa. Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika Serikat menjadi “kekuatan masa depan yang dominan” hanya bisa terjadi dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada “suatu bencana dan peristiwa yang menjadi katalisator -layaknya sebuah Pearl Harhor yang baru”. Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol “go” melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.

Motivasi yang mendorong tabir-asap politik itu ialah baik Amerika Serikat maupun Inggeris telah mulai kehabisan suplai enerji hidro-karbon yang aman. Menjelang tahun 2010 Dunia Islam akan menguasai sebanyak 60% dari produksi minyak dunia, dan yang lebih penting lagi mereka menguasai 95% dari kapasitas cadangan minyak bumi dunia yang tersisa untuk ekspor. Sejak dasawarsa 1960-an kebutuhan kian meningkat sementara suplai kian tipis.

Keadaan ini membuat Amerika Serikat dan Inggeris makin tergantung dari suplai minyak luar-negeri. Amerika Serikat yang pada 1990 produk minyak dalamnegerinya hanya mampu menutup 57% dari tuntutan kebutuhan, sementara ladang-ladang dalam-negerinya hanya menghasilkan tidak lebih dari 39% kebutuhan pada 2010. Menteri enerji Inggeris menyatakan negeri itu akan menghadapi masalah suplai yang lebih parah, bahkan telah dimulai pada tahun 2005. Pemerintah Inggeris telah menyiapkan kebijakan dimana 70% dari kebutuhan listriknya terpaksa akan menggunakan gas bumi sebagai pengganti minyak mulai tahun 2020, dan 90% dari gas bumi tersebut harus diimpor dari luar. Dalam hubungan itu patut disimak Iraq menyimpan 110 trilyun cubic-feet cadangan gas bumi di luar cadangan minyaknya.

Sebuah laporan dari komisi Kongres untuk urusan kepentingan nasional Amerika Serikat melaporkan pada bulan Juli 2000, yang menjadi dasar ditulisnya dokumen PNAC, bahwa sumber baru untuk suplai dunia yang paling menjanjikan ada di kawasan Cekungan Kaspia, dan sumber ini akan memungkinkan Amerika Serikat melepaskan diri dari ketergantungannya pada minyak Saudi Arabia.. Dalam rangka melakukan diversifikasi rute untuk kepentingan pengamanan dan pemasaran minyak Kaspia, sebuah jalur pipa diusulkan untuk dibangun ke arah barat dari Turkmenistan melalui Azerbaidjan dan Georgia menuju pelabuhan laut Turki di Ceyhan. Sedang sebuah jalur lagi diusulkan ke arah timur dari Turkmenistan melalui Afghanistan dan Pakistan dan berakhir di perbatasan India-Pakistan. Jalur ini dapat diperpanjang terus ke India yang juga kelaparan akan minyak, terutama untuk menyelamatkan pusat tenaga listrik milik Enron -yang modalnya dimiliki keluarga Bush- di Dabhol terletak di pantai barat India, dimana Enron telah menanam modal yang cukup besar $3 milyar, yang nasibnya ditentukan oleh tersedianya minyak bumi dengan harga yang murah.

Inggeris juga tidak lepas dari ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai cadangan hidro-karbon dunia yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan sebagiannya mengapa Inggeris dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer Amerika Serikat di Asia Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu namanya British Petroleum, sekarang berganti menjadi “Beyond Petroleum”, karena Inggeris untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan minyak, tetapi juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan substitusi enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan mengangkangi Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang Iraq berakhir (Sk. The Guardian, London, October 30, 2002). Ketika menteri luarnegeri Inggeris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia pada bulan Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, “Inggeris tidak menghendaki kalah dengan negara-negara Eropa lainnya yang tengah berebut bilamana saatnya tiba untuk mendapatkan kontrak pembagian ladang-ladang minyak yang menjanjikan keuntungan besar” dengan Lybia (BBC Online, August 10, 2002).

Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan menteri Inggeris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai “perangglobal untuk menghabisi terorisme” mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali -yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun hegemoni mendunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan bagi hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, ‘This War on Terrorism is Bogus’, kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi September 6, 2003)

Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh Sebelum Peristiwa 11 September *

Mantan menteri keuangan dan ketua tim ekonomi pemerintahan Bush, Paul O’Neill, pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, ‘The Price of Loyalty’, tentang masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush. Tidak terlalu mengejutkan ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum terjadinya peristiwa 11September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan dan menjajah Iraq) agar mengambil apa yang disebutnya “tindakan” yang perlu. Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai “tindakan balasan” terhadap para “teroris” dan “negara-negara yang membahayakan” keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O'Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001. Menurut Paul O’Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, “Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan”. Presiden Bush selanjutnya menegaskan, “Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar”.

Juru-bicara Presiden Bush, Scott McClellan, menyanggah laporan dan kecaman O’Neill, katanya, “Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin untuk memecahkan situsi di Iraq secara damai. Tetapi...” kata McClellan selanjutnya, “Saddam Hussein memang orang berbahaya sejak lama”.

Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, “Seperti halnya pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rejim (Saddam Hussein)… Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein harus dilucuti”. Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justeru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, “Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman”.

Paul O’Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana “orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli”. Kecaman Paul O’Neill memang membuat kaget Washington yang selama ini menyangka orang-orang dekat Bush terdiri dari mereka yang kesetiaannya kepada Bush tidak diragukan. O’Neill diberhentikan pada bulan Desember 2002 sebagai dalam rangka reshuffle tim ekonomi yang berbeda pendapat mengenai kebijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Bush (Margaret Neighbour, ‘Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’, The Scotsman, January 13, 2004).

KESIMPULAN

Apa yang selama ini menjadi keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh dan Joint Senate Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri yang menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri “perang membasmi terorisme” -bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara yang mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling berkait satu dengan lain seperti benang dengan kelindannya. Bagi kalangan yang selama ini membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut dengan ancaman “If you’re not with us, you’re against us”, atau mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk menangguk di air keruh, melalui berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh negara dari Inggeris dan Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya, kini menjadi jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah menjadi korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.

Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber.

No comments:

Post a Comment