4.4.13

Mengapa Barat Memilih Ateis?

Oleh: Kholili Hasib

BELUM lama ini, sebuah kelompok bernama Freedom From Religion Foundation (FFRF) menuntut Departemen Keuangan Amerika Serikat untuk menghilangkan slogan "In God We Trust" (Kepada Tuhan Kami Percaya, red) dari semua mata uang AS. Menurut FFRF, slogan "In God We Trust" menyinggung warganegara AS yang tidak menganut agama atau ketuhanan.

FFRF beserta dengan 19 penuntut lainnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri AS untuk Wilayah Selatan New York (01/02/2013).

Penggugat berargumen bahwa slogan yang tercantum di mata uang Negeri Paman Sam tersebut melanggar Amandemen Pertama dan Kelima UUD AS serta Religious Freedom Restoration Act tahun 1993.

Penggugat menyatakan bahwa slogan "In God We Trust" menyinggung dan menyerang kaum ateis, agnostik, humanis sekuler, pemikir bebas, dan skeptik. Setiap kali menggunakan mata uang AS, mereka terpaksa membuat pengakuan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.

"'In God We Trust' sesungguhnya dianggap sebagai frase yang berbau agama," kata Dan Barker, wakil presiden FFRF untuk daerah Wisconsin, dikutip Christian Post.

Meningkatnya pengikut Ateis

Masyarakat Barat tampaknya masih terus dilanda krisis teologi yang serius. Di Amerika dan Inggris, dalam sebuah riset terbaru menunjukkan, persentase orang yang tidak percaya Tuhan meningkat.

Di saat jumlah penganut Ateis meningka, jumlah penganut Kristen di wilayah England dan Wales menurun 13 persen dalam waktu 10 tahun terakhir. Ditemukan bahwa 25,1 persen orang mengidentifikasi diri mereka sebagai Ateis (non believers) naik dari 14,8 persen satu dekade sebelumnya. Jumlah kaum Ateis meningkat di seluruh Eropa dan Amerika Serikat.

Sebuah survei tahun 2005 yang diterbitkan dalam Encyclopedia Britannica menempatkan Ateis pada sekitar 11,9 persen dari populasi dunia. Sebuah survei Uni Eropa resmi baru-baru ini mengatakan bahwa 18 persen dari penduduk Uni Eropa tidak percaya pada Tuhan.

The Washington Post melaporkan pada bulan September 2012, Ateis adalah gerakan yang tumbuh di seluruh Eropa, mempengaruhi politik dan media massa.

Sensus baru ini juga menemukan bahwa jumlah orang Kristen mengalami penurunan di Inggris. Andrew Copson, Chief Executive dari British Humanist Association, mengatakan bahwa penurunan jumlah orang Kristen adalah 'benar-benar signifikan'.

Ada lebih dari 47.000 gereja di Inggris, dan 42 juta warga Inggris pemeluk Kristen. Lebih dari 70 persen dari populasi, menganggap diri mereka Kristen. Dalam sebuah studi yang dirilis pada tahun 2005, Christian Research yang berbasis di Inggris, menemukan bahwa jumlah orang Kristen yang menghadiri ibadah Minggu turun dua pertiga selama tiga dekade berikutnya.

Penelitian dari The Future of The Church, memperkirakan dari total jumlah orang Kristen 9,4 persen akan turun menjadi 5 persen pada tahun 2040. Penelitian ini juga memperkirakan karena kehadiran jemaat ke gereja yang terus menurun, akan memaksa sekitar 18.000 gereja untuk ditutup. [baca: Islam jadi Agama Tercepat di Inggris dan Amerika]

Alhasil, Ateisme pun sekarang menjadi tren orang Barat.Paham Ateisme dapat dilacak akarnya pada zaman pencerahan (reneissance) Eropa. Reneissance bagi Barat adalah momentum untuk bangkit, keluar dari zaman kegelapan (The Dark Age).

Selama ratusan tahun mereka seakan hidup dalam penjara yang begitu gelap. Copernicus (1473-1543) dan Galileo (1564-1642) dihukum karena pendapatnya tentang teori heliosentris bertentangan dengan Gereja.

Gugatan Barat terhadap agamanya juga dipicu oleh kebingungan mereka dalam merumuskan makna religion dan konsep ketuhanan Yesus. Karen Amstrong dalam The Story of God mengatakan Tuhan adalah abstrak dan penjelasan-penjelasan yang ada membosankan.
Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit” kesimpulan Amstrong.
Tuhan Yesus pun diragukan eksistensinya. Doktrin Trinitas yang sulit dipecahkan membuat ilmuan Barat bertambah confuse. Bahkan pada titik ekstrim, mereka putus asa mendiskusikan tentang Tuhan dengan mempertanyakan keberadaan Yesus. Groenen dalam Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen menyimpulkan, kemisteriusan Yesus tidak dapat dijangkau akal. Bahkan ia mempertanyakan apakah Yesus itu ada atau tidak.
Seorang teolog Kristen, Schleiermacher, secara kritis menyatakan bahwa doktrin Kristen tentang ketuhanan membuat keimanan menjadi rentan terhadap skeptisisme. Ia menggugat adanya tuhan tiga. Menurutnya konsep ini adalah dogma yang tidak masuk akal. Bahkan karena begitu putus asa, Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan telah mati.
Menurut Nietzche, kematian Tuhan akan mendatangkan fase sejarah manusia yang lebih baru dan lebih tinggi. Ia menganjurkan agar manusia membebaskan dirinya dari bayang-bayang Tuhan. Manusia, menurut Nietzche, harus menjadi Tuhan agar ia bisa menentukan nasibnya sendiri.

Kekecewaan Barat terhadap agamanya bertambah ketika mengingat sejarah kelam otoritas Gereja pada abad pertengahan. Mereka seakan dihantui trauma kekejaman lembaga inquisisi Gereja. Sebelum zaman Revolusi, Gereja, menurut beberapa sarjana Barat telah menyalah gunakan otoritasnya.

Inquisisi adalah institusi Gereja yang sangat kejam menghukum orang-orang heretic dan orang yang menentang hukum Bibel. Sebagai wakil Tuhan di bumi, Gereja berhak menghukum penganut Kristen yang membangkang. Para Pendeta juga berhak mengampuni dosa manusia.

Seorang ilmuan Galileo Galileo dihukum karena menyebarkan teori heliocentric yaitu teori yang menyatakan matahari adalah pusat tata surya. Temuan Galileo ini bertentangan dengan Bibel bahwa bumi adalah pusat tata surya dan berbentuk datar. Karena khawatir iman umat Kristiani tergoyahkan oleh temuan Galileo, maka Galileo dipaksa mencabut pernyataan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Di depan Mahkamah Gereja, Galileo terpaksa menyatakan janji tidak akan mempertahankan dan menyebarkan temuannya tersebut.

Nasib Galileo masih mendingan dibanding kaum Kristen heretic. Mereka disiksa dengan sangat kejam. Di dalam ruang Gereja disiapkan tempat khusus untuk penyiksaan. Peter de Rosa, seorang tokoh Gereja, menyebut kekejian institusi Inquisisi sangat luar biasa di luar batas kemanusiaan. Suatu hari pasukan Spanyol menemukan mayat-mayat berlumuran darah dalam keadaan telanjang dan dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Sampai-sampai tentara Spanyol ngeri menyaksikan ruang penyiksaan inquisisi tersebut.

Kekecewaan Barat terhadap agama tidak hanya disebabkan kerancuan konsep ketuhanan dan kekejaman otoritas Gereja. Bibel sebagai kitab suci juga dianggap sumber masalah. Bahasa, isi dan sejarah Bibel mulai diperdebatkan ketika para pengkritik menemukan keganjilan isi Bibel.

Sampai kini belum ditemukan naskah asli berbahasa Ibrani atau Aram. Bahasa Injil yang menjadi rujukan penerjemahannya pun bukan bahasa yang digunakan oleh Yesus. Rujukan penerjemahannya adalah berbahasa Greek (Yunani). Injil Perjanjian Baru (The New Testament) ditulis dalam kurun waktu yang sangat panjang, kurang lebih 300 tahun setelah wafatnya Yesus, dan ditulis oleh berbagai pengarang dalam berbagai bahasa dan versi. Pada saat itu tidak kurang dari 40 jenis karangan yang ditulis. Lamanya rentang waktu penulisan ini sangat rawan pemalsuan dan kesalahan.

Injil saat ini pun adalah hasil voting Konsili Nicea. Pada tahun 331 M, pasca-Konsili Nicea, di bawah kuasa dan pengawasan Kaisar Roma Konstantin, ditetapkanlah Injil Resmi seperti yang kita kenal sekarang ini. Injil Perjanjian baru itu adalah (Injil Markus, Matius, Lukan dan Yohanes). Injil resmi Kaisar Roma tersebut dinamakan Injil Kanonik, sedangkan Injil-Injil lain dibakar dan dimusnahkan

Standar apa yang dipakai Kaisar Roma tersebut untuk menyeleksi berbagai versi Injil, tidak jelas. Hingga kini bahasa Injil asli masih misteri yang tidak bisa dipecahkan. Saat ini ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya.

Berangkat dari kontroversi ajaran Kristen ini, Barat kemudian memberontak. Agama dianggap sumber masalah. Sebagai konsekuensinya, mereka membuat tembok pemisah antara agama dengan aspek-aspek kehidupan.

Lahirlah paham sekularisme, liberalisme dan humanisme. Sekularisme dianggap sebagai solusi dalam menjalani kehidupan orang Barat. Karena dengan sekuler Barat terlepas dari dogma-dogma agama yang mengkungkung kebebasan akal.

Segala problematika tidak harus dikembalikan pada agama secara kaku. Manusia yang memiliki akal berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan hukum Tuhan. Manusia adalah segalanya. Bahkan paham humanisme mengajak manusia untuk berpaling dari Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan dipandang akan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat.

Paham humanisme ini berkembang cukup pesat di Barat. Agama tidak lagi memberi solusi, namun sebalikanya menciptakan problematika yang pelik. Lebih dari itu, keyakinan religius dipandang sebagai faktor yang menciptakan konflik antar manusia. Maka, tidak salah jika seorang ilmuan Barat Jack Nelson Pallymeyer gelisah ketika menyaksikan kekejaman perilaku manusia atas nama Tuhan. Dalam bukunya "Is Religion Killing Us" ia menyebut Islam, Kristen dan Yahudi telah melakukan kejahan terhadap manusia melalui doktrin kitab sucinya.

Pandangan Nelseon ini sebenarnya muncul dari rasa trauma Barat terhadap ajaran Gereja

Paham Sekularisme, Liberalisme dan Humanisme ini pada dasarnya menggiring orang Barat pada Ateisme. Arus Liberalisasi dan humanisasi agama, telah memberi peluang orang Barat untuk menafsirkan agama sesuai dengan logikanya. Humanisme adalah aliran filsafat modern yang memberi ruang kebebasa manusia untuk menafsirkan arti Tuhan. Menrurut aliran ini, manusia adalah pusat dari segala hal, bukan Tuhan. Maka, bermain-main dengan agama dan konsep ket-Tuhan-an bukan lagi menjadi keharaman. Bahkan pernah ditemukan seorang Barat mentato pantatnya dengan nama Yesus.

Fenomena Ateisme telah menjadi tren masyarakat Barat Postmodern. Beberapa laporan menunjukkan Gereja Eropa saat ini semakin sepi. Itu pun diisi dengan orang-orangtua. Bahkan karena kosong, sejumlah Gereja di Belanda dijual. Beberapa orang masih mengakui eksistensi Tuhan, tapi menolak untuk beragama.

Bagi yang masih memiliki naluri keberagamaan yang kuat, ia lari kepada agama-agama lain yang mengajarkan aspek spiritual. Fenomena ini semestinya disambut dangan cerdas oleh umat Islam. Peluang mengembangkan ajaran Islam di Eropa semakin lama terbuka lebar. Oleh Karena itu kita tunggu da’i-da’i yang bersedia menyelamatkan Barat dari paham Ateisme yang kering akan nilai-nilai spiritual ini.*

Penulis adalah peneliti pada InPAS Surabaya

No comments:

Post a Comment