25.12.12

Pandangan Islam untuk Gay, Waria dan Khuntsa

Khuntsa adalah istilah yang digunakan oleh para fuqaha' untuk menyebut orang yang mempunyai alat kelamin ganda, yang dalam bahasa Inggris disebut hermaphrodite, bisexual, androgyne, gynandromorph dan intersex (al-Ba'albakki, al-Maurid, bab Khuntsa). Dalam Mu'jam Lughat al-Fuqaha', karya Prof. Dr. Rawwas Qal'ah Jie, disebutkan bahwa Khuntsa adalah al-ladzi lahu alat ad-dzakari wa alat al-untsa (orang yang mempunyai kelamin pria dan wanita) (Qal'ah Jie, Mu'jam Lughat al-Fuqaha', h. 179).

Karena itu, khuntsa ini merupakan qadha' (ketetapan) yang diberikan oleh Allah yang tidak bisa dipilih oleh manusia. Kondisi ini berbeda dengan waria. Umumnya waria adalah kaum pria yang menyerupai wanita, baik dalam hal tutur kata, pakaian, gaya berjalan hingga penampilan fisik. Di antara mereka, bahkan ada yang telah melakukan operasi plastik untuk mendapatkan wajah yang mirip dengan perempuan; buah dada yang besar sebagaimana lazimnya perempuan; pinggul yang aduhai hingga operasi ganti kelamin. Kelamin mereka yang asalnya laki-laki dipotong, kemudian diganti menjadi perempuan.

Fakta waria seperti ini jelas berbeda dengan khuntsa, karena itu dalam fikih Islam pun mereka tidak bisa dihukumi sebagai khuntsa. Karena fakta masing-masing jelas berbeda. Jika khuntsa ini merupakan bagian dari qadha' yang ditetapkan oleh Allah, maka waria adalah bentuk penyimpangan perilaku. Penyimpangan perilaku ini bukan hanya berlaku untuk kaum pria yang menjadi wanita, tetapi juga berlaku sebaliknya, yaitu kaum wanita menjadi pria. Karena itu, status hukumnya juga berbeda dengan hukum khuntsa.

Demikian juga dalam kasus gay dan lesbi. Mereka sebenarnya bukan ditakdirkan suka kepada sesama jenis, karena naluri seksual manusia pada dasarnya bukan hanya membutuhkan pemenuhan, tetapi pemenuhan tersebut harus benar dan halal. Bagi laki-laki, pemenuhan yang benar tentu bukan dengan laki-laki tetapi dengan perempuan. Demikian sebaliknya, perempuan juga bukan dengan perempuan tetapi dengan laki-laki. Itu baru pemenuhan yang benar. Jika tidak, maka mereka diang-gap melakukan penyimpangan seksual (hall[an] syadz[an]). Tetapi, pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki dengan perem-puan saja tidak cukup, harus dilakukan dengan cara yang halal, yaitu melalui pernikahan (hall[an] shahih[an]). Bukan dengan perzinaan (hall[an] khathi'[an]).

Laknat bagi Gay dan Waria
 
Nabi dengan tegas melaknat para pelaku penyimpangan perilaku dan seksual ini. Ter-hadap kaum waria, yaitu kaum pria yang menjadi wanita, Nabi dengan tegas menyatakan, ”Rasulullah melaknat kaum perempuan yang menyerupai pria, dan kaum pria yang menyerupai wanita.” (HR Bukhari, Abu Da-wud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibn Majah dari Ibn 'Abbas). Hadits ini tidak hanya berlaku untuk waria, tetapi perempuan yang menyerupai laki-laki. Tidak hanya itu, Nabi pun melaknat kaum pria yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakai-an pria (HR Ahmad dan Abu Dawud). Tidak hanya melaknat, Nabi pun memerintahkan agar mereka diusir (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Nas-nas ini, menurut Imam Nawawi, menegaskan tentang keharaman tindakan penyimpangan perilaku tersebut (as-Syaukani, Nailu al-Authar, II/107). Adapun tindakan penyimpangan seksual, seperti Gay dan lesbi, dengan tegas dilaknat oleh Allah, ”Allah melaknat siapa saja yang melakukan tindakan kaumnya Luth, sebanyak tiga kali.” (HR Ahmad dari Ibn 'Abbas). Tidak hanya itu, Nabi juga dengan tegas memerintahkan agar membunuh pelaku (al-fa'il wa al-maf'ul) (HR Ahmad dari Ibn 'Abbas). Kedua nas ini juga dengan tegas menunjukkan haramnya penyimpangan seksual tersebut.

Berbeda dengan khuntsa, karena statusnya sebagai qadha' Allah, maka orangnya pun tidak dikenai sanksi apapun. Sebaliknya, Islam pun mengatur status mereka, apakah dihukumi laki-laki atau perempuan, maka dikembalikan kepada fungsi kelamin mereka yang paling dominan. Setelah status mereka definitif, maka hukum Islam pun diberlakukan kepada mereka sesuai dengan statusnya. Karena jenis kelamin dari pihak yang dikenai seruan hukum (al-mukhthab) dalam nas hanya ada dua: pria dan wanita.

Sanksi

Hukum Islam bukan hanya memberantas penyimpangan perilaku dan seksual, tetapi juga mencegah agar penyimpangan tersebut tidak terjadi dan berkembang. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku, laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki, maka Islam melarang baik pria maupun wanita mengenakan pakaian lawan jenisnya. Pria tidak diperbolehkan memakai baju perempuan dan perempuan tidak diperbolehkan memakai baju laki-laki. Juga tidak diper-bolehkan memakai sandal, berdandan dan bergaya seperti lawan jenisnya.

Jika ada yang melakukan penyimpangan perilaku tersebut, maka dengan tegas Islam memerintahkan mereka untuk diusir dari rumah dan negerinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan mengusirnya ke kawasan bernama an-Naqi'. Abu Bakar juga membuang satu orang, begitu juga 'Umar bin al-Khatthab melakukan hal yang sama. Ketika Nabi ditanya oleh 'Umar, mengapa mereka tidak dibunuh, baginda menjawab, ”Aku dilarang membunuh orang yang masih shalat.” (as-Syaukani, Nailu al-Authar, II/107).

Demikian halnya terhadap penyimpangan seksual, Islam bukan hanya melarang tetapi juga mencegah agar penyimpangan tersebut tidak dilakukan. Islam melarang orang dewasa bermain dengan anak-anak dan menyodominya, disertai dengan larangan menikahi ibu anak tersebut. Islam juga melarang suami menyetubuhi dubur istrinya. Larangan ini untuk mencegah penyimpangan kepada sesama jenis yang lebih parah.

Jika penyimpangan seksual tersebut dilakukan maka sanksi untuk mereka pun sangat keras. Mereka wajib dibunuh, sebagian ulama ada yang menyatakan dirajam; ada yang menyatakan dijatuhkan dari atas bangunan yang tinggi hingga mati. Sanksi ini bukan hanya berlaku untuk pelaku, tetapi orang yang disodomi juga dikenai sanksi yang sama. Kecuali, bagi yang dipaksa untuk disodomi.

Selain hukuman yang keras, Islam juga mengharamkan tayangan atau apa saja yang bisa mempromosikan penyimpang-an di atas, baik dalam bentuk festival film, kontes waria maupun yang lain. Karena semuanya ini bisa mempromosikan dan menyuburkan penyimpangan yang diharamkan Islam. Bahkan kalau ada kedutaan atau atase kebudayaan negara penjajah, seperti Perancis, mensponsori kegiatan tersebut, maka bukan hanya wajib dilarang dan dihentikan, tetapi bisa ditutup dan diusir dari negeri kaum Muslim.

Tindakan Hukum dan HAM


Terhadap pelaku penyimpangan seksual, seperti gay, lesbi, dan sejenisnya, juga terhadap pelaku penyimpangan perilaku, seperti waria atau sejenisnya, tindakan hukum dalam Islam sangat keras dan tegas. Tindakan hukum seperti itu harus dilakukan karena sesung-guhnya mereka jelas-jelas telah melakukan penyimpangan peri-laku dan seksual. Penyimpangan perilaku dan seksual ini tidak bisa dianggap sebagai hak asasi manusia. Dengan berlindung di balik HAM, tidak boleh penyimpangan seperti ini dipelihara, karena justru penyimpangan seperti ini merusak kehidupan dan generasi umat manusia, termasuk diri pelakunya sendiri.

Alasan dan dalil-dalil HAM tidak diakui di dalam Islam dan sama sekali tidak ada nilainya. Justru alasan dan dalil-dalil seperti ini harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat Islam. Karena jelas bertentangan dengan argumen dan dalil-dalil syariah. Selain itu, harus disadari bahwa penggunaan alasan dan dalil HAM ini hanyalah justifikasi untuk memelihara penyimpangan yang jelas dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya ini. Wallahu a'lam.[]

http://mediaumat.com/siyasah-syariyyah/2225-45-pandangan-islam-untuk-gay-waria-dan-khunsa.html

No comments:

Post a Comment