2.9.12

Singapura Merana karena Bayi, Kok Bisa?

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah menunjukkan bahwa Singapura akan menikmati ledakan bayi pada Tahun Naga ini, atau periode paling menguntungkan bagi kelahiran dalam shio Cina.

Namun setelah 25 tahun negara mensponsori kampanye perjodohan dan peningkatan kesuburan, upaya pemerintah untuk menghentikan penurunan tingkat kelahiran tetap tidak berhasil. Hal ini berpotensi memberikan konsekuensi-konsekuensi besar bagi negara Asia kaya tersebut.

Seruan untuk memiliki anak sekarang semakin mendesak dan konstan terhadap para warga negara yang tingkat kesuburannya paling akhir di antara 222 negara, menurut buku fakta dunia yang diterbitkan Lembaga Intelijen Pusat (CIA) di Amerika.

Dihadapkan pada statistik suram seperti itu, pemerintah mulai mengevaluasi kebijakan kependudukan dan imigrasi dan berencana mengeluarkan tindakan-tindakan baru untuk mendorong kelahiran pada saat meluncurkan hasil konsultasi awal tahun depan.

​​Pesan untuk memiliki lebih banyak anak menjadi lebih mendesak seiring meningkatnya ketidaksukaan terhadap kedatangan orang asing yang sekarang jumlahnya lebih dari sepertiga penduduk yang mencapai 5,2 juta orang, sebuah faktor yang menggerus dukungan bagi Partai Aksi Rakyat (People’s Action Party) yang berkuasa sejak lama.

“Kita memiliki masalah. Tren jangka panjang menurun namun kita tidak akan menyerah,” ujar Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam pidatonya mengenai masa depan bangsa. “Kita perlu menciptakan lingkungan yang benar, lingkungan sosial yang baik, etos yang baik sehingga warga Singapura mau menikah dan mempunyai anak.”

Rekayasa sosial dan ekonomi bukan barang baru di Singapura, di mana pemerintah bertangan besi membantu mengubah pulau kecil tanpa sumberdaya alam menjadi salah satu negara terkaya di dunia dalam tempo kurang dari satu generasi.

Namun penurunan angka kelahiran yang terus berlangsung memperlihatkan batas pengaruh pemerintah di negara yang disebut “nanny state” (negara pengasuh).

Bagi pusat perdagangan dan keuangan global seperti Singapura, angka kesuburan yang sangat rendah memiliki implikasi bagi pertumbuhan ekonomi, pendapatan pajak, biaya kesehatan dan kebijakan imigrasi, seiring jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2030.

Saat ini ada 6,3 orang usia bekerja untuk setiap penduduk usia lanjut. Pada 2030, rasio tersebut diperkirakan akan mendekati 2:1.

Pada tingkat sekarang ini, angka kelahiran menunjukkan bahwa penduduk lokal akan berkurang setengahnya dalam satu generasi, ujar Sanjeev Sanyal, ahli strategi global dari Deutsche Bank yang berbasis di Singapura.

“Bahkan untuk menarik bakat asing dengan kualitas bagus diperlukan keberlangsungan sosial politik dan stabilitas yang hanya dapat disediakan oleh penduduk lokal yang kuat.

Jika ada keraguan mengenai pesan pemerintah yang terang-terangan, produsen permen Mentos mengeluarkan iklan pada malam perayaan Hari Nasional 9 Agustus yang mendesak warga Singapura yang telah menikah untuk menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.

“Saya berbicara mengenai membuat bayi, bayi,” demikian lirik lagu rap dalam video tersebut, yang dilengkapi animasi bergambar hati yang berdegup. “Ini malam Nasional, mari tingkatkan angka kelahiran bayi.”

Hanya beberapa waktu yang lalu, Singapura mengalami masalah sebaliknya. Dari pertengahan 1960an, saat anak muda pasca-perang mencapai usia reproduksi, ada ketakutan akan ledakan penduduk yang bisa mengancam pembangunan di negara yang baru merdeka itu.

Dengan slogan “Stop pada dua anak,” pemerintah menghukum keluarga besar, melegalisir aborsi dan menghadiahi sterilisasi. Program tersebut sangat efektif sehingga pada 1987, kebijakan tersebut dibalikkan dan slogan tadi berubah menjadi “Miliki tiga anak atau lebih jika mampu.”

Kontrasepsi sangat kuat yang berkonspirasi melawan kelahiran ada dalam bentuk tekanan karir yang intens, jam kerja yang panjang, apartemen kecil dan daftar tunggu tempat pentipan anak dan harga-harga yang melambung.

“Keseimbangan kerja/hidup adalah apa yang dikejar semua orang,” ujar Evonne, profesional di bidang pemasaran yang berumur 30an. Ia menambahkan bahwa ia dan suaminya berencana untuk memiliki satu anak. “Jika Anda tidak ingin memiliki anak, apapun yang dikatakan pemerintah, saya kira Anda tidak akan begitu peduli.”

Sensus 2010 menunjukkan bahwa warga Singapura cenderung menunda pernikahan dibandingkan dekade sebelumnya. Dalam kelompok usia 30-34, periode kunci untuk karir, 43 persen laki-laki dan 31 persen perempuan tidak menikah.

​​Bagi perempuan yang berumur 40an yang menikah atau pernah menikah, mereka yang memiliki hanya satu anak jumlahnya meningkat menjadi 19 persen, dari 15 persen.

Ini masalah akut bagi etnik Cina yang mencapai 74 persen dari warga Singapura dan penduduk permanen, mayoritas yang jumlahnya menurun dari 78 persen pada 1990. Statistik menunjukkan bahwa etnik Cina memiliki jumlah bayi lebih sedikit dibandingkan masyarakat Melayu dan India, dan lebih cenderung berstatus lajang.

Para pejabat pemerintah telah berusaha menyeimbangkan desakan untuk memiliki anak dengan pesan bahwa negara harus terbuka terhadap imigrasi untuk menyediakan tenaga kerja dan ahli yang diperlukan untuk pertumbuhan di masa depan.

Tidak semua orang yakin akan hal itu, seperti diperlihatkan di dunia maya. Gilbert Goh, yang mengelola kelompok pendukung Transitioning untuk warga yang tidak memiliki pekerjaan, memrotes “pesan tanpa henti dari pemerintah untuk menerima orang asing” karena rendahnya angka kelahiran.

“Kelihatannya disamping mengatasi masalah angka kelahiran untuk pemerintah kita, orang asing juga didatangkan untuk mengatasi isu lebih besar bagi para pemilik usaha, yaitu tenaga kerja murah dan bekerja keras,” tulis Goh dalam lamannya.

Kemarahan atas imigrasi secara luas diyakini telah berkontribusi pada kekalahan mengejutkan dari Partai Aksi Rakyat pada pemilihan parlemen tahun lalu.

Baca juga: Seribu Tahun Lagi Penduduk Jepang Punah?

No comments:

Post a Comment