19.7.12

Menjelang Ramadhan 492H di Al-Quds

BEBERAPA hari menjelang Ramadhan, 913 tahun yang lalu, kota al-Quds (Yerusalem) jatuh ke tangan pasukan Salib. Peristiwa ini terjadi pada Perang Salib pertama dan menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan dunia Islam pada masa itu.

Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raymond of Saint-Gilles, Godfrey of Buillon, dan beberapa bangsawan Prancis dan Italia lainnya itu memang menjadikan al-Quds sebagai sasaran utama mereka. Mereka berangkat sejak pertengahan tahun 1096, sebagai respons atas seruan Paus di Roma untuk merebut al-Quds dan membantu Byzantium dalam menghadapi tentara Turki Saljuk. Setelah berkumpul di Konstantinopel (kini bernama Istambul), mereka bergerak ke Asia Minor dan menaklukkan kota Nicaea pada bulan Juni 1097.

Nicaea ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Rum, salah satu kesultanan Bani Saljuk. Pada tahun berikutnya, Juni 1098, mereka berhasil merebut kota Antioch (Antakya) di utara Suriah, setelah mengepungnya selama sembilan bulan. Dan setahun setelahnya, awal Juni 1099, tentara Salib tiba di depan tembok al-Quds.

Ketika itu al-Quds berada di bawah kendali Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir.

Pasukan Salib mengepung beberapa bagian kota itu. Mereka membangun menara kayu untuk menembus benteng kota. Mereka berdoa dan melakukan upacara keagamaan dengan berjalan mengelilingi al-Quds tanpa mengenakan alas kaki, sementara kaum Muslimin memperhatikan dari atas tembok kota. Mereka berjuang di tengah teriknya musim panas pertengahan tahun itu, dengan terus mengenakan baju perang, serta adanya keterbatasan akses terhadap air.

Dengan semangat dan kesungguh-sungguhan, pasukan Salib akhirnya berhasil memasuki tembok kota al-Quds dari bagian utara. Hal ini terjadi pada pagi atau siang hari Jum’at tanggal 15 Juli 1099, bertepatan dengan 23 Sha’ban 492 H. Maka, kota ini pun jatuh ke tangan pasukan Kristen Eropa hanya seminggu menjelang masuknya bulan Ramadhan.

Sementara biasanya banyak peziarah Muslim yang datang ke kota ini untuk menetap selama bulan Ramadhan.

Apa yang terjadi setelah itu? Sebagian pembaca mungkin sudah pernah mendengarnya. Puluhan ribu kaum Muslimin yang berada di kota ini dibunuh secara kejam, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, serta antara orang dewasa dengan orang tua dan anak-anak. Pembantaian terjadi selama tiga hari hingga satu minggu. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa sejarawan terkait dengan peristiwa tersebut:

Fulk of Chartes, salah satu saksi sejarah dan penulis kisah Perang Salib I menjelaskan, “Banyak yang melarikan diri ke atap Kuil Sulaiman, dan mereka dipanah hingga jatuh ke tanah dan mati. Di tempat ini hampir sepuluh ribu orang yang terbunuh. Sungguh, jika kalian berada di sana kalian akan melihat kaki-kaki kami berwarna (merah) hingga ke lutut disebabkan darah korban. Tapi seperti apa lagi saya akan menjelaskannya? Tak satu pun dari mereka yang dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan....”

Ibn al-Athir dalam kitab Tarikh-nya menulis, “Di Masjid al-Aqsa orang-orang Frank membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang, sebagian besar dari mereka adalah para imam, ulama, orang-orang shaleh dan para sufi serta kaum Muslimin yang meninggalkan negeri tempat tinggal mereka dan datang untuk menjalani kehidupan yang shaleh pada bulan Agustus/ Ramadhan ini.”
“… tak ada usia ataupun jenis kelamin yang selamat dari amukan mereka,” kata Edward Gibbon dalam History of the Decline And Fall of the Roman Empire. “Mereka melakukan pembantaian selama tiga hari tanpa memilah atau memilih (siapa yang layak dibunuh dan siapa yang tidak)… Setelah tujuh puluh ribu Muslim dibunuh, dan orang-orang Yahudi yang tak berbahaya dibakar di dalam sinagog mereka, mereka masih memiliki sisa tawanan yang sangat banyak...”
Sementara itu Joseph Francois Michaud, seorang Sejarawan Prancis, menulis dalam bukunya yang dikenal sebagai Michaud’s History of the Crusade, “Tak satu pun air mata kaum perempuan maupun jeritan tangis anak-anak, bahkan tak juga pemandangan atas tempat di mana Yesus telah memaafkan orang-orang yang mengeksekusinya (dahulu), mampu melembutkan hati para penakluk yang sedang marah ini.”

Semua itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang telah terjadi di al-Quds pada masa itu. Dan pasukan Salib yang telah melumuri tangannya dengan darah banyak manusia ini tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang buruk atau kedzaliman yang besar. Seolah semuanya biasa saja. “Setelah itu,” kata Fulk of Chartes, “semuanya, para pendeta dan orang-orang biasa, pergi ke Gereja Makam Tuhan (the Sepulcher of the Lord) dan kuilnya yang suci, sambil menyanyikan kidung (gereja) yang kesembilan.”

Kaum Muslimin tidak melakukan hal semacam ini ketika mereka menaklukkan al-Quds dan Palestina pada masa Umar ibn al-Khattab. Penduduk Kristen dan Yahudi di kota itu diperlakukan dengan baik oleh kaum Muslimin sepanjang kota dan wilayah itu dikendalikan oleh kaum Muslimin. Kelak ketika al-Quds direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, beliau juga memperlakukan penduduk non-Muslim di kota itu dengan baik. Tidak ada balas dendam atau pembantaian yang dilakukan atas penduduk non-Muslim di sana. Sebaliknya, jatuhnya al-Quds pada tahun 1099 ke tangan pasukan Salib benar-benar merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang besar.

Ketika kota itu jatuh ke tangan pasukan Salib, kaum Muslimin bukanlah bangsa yang lemah. Sebetulnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menahan serangan lawan. Hanya saja para pemimpin mereka sibuk mempertahankan kekuasaan masing-masing dan banyak ulamanya dilenakan dengan perselisihan madzhab. Masyarakat yang terdzalimi dan terancam kehidupannya tidak tahu kemana mereka mesti mengadu.

Kira-kira satu bulan kemudian, pada bulan Ramadhan, bertepatan dengan pertengahan Agustus 1099, serombongan masyarakat berangkat dari Damaskus menuju Baghdad, dipimpin oleh Qadi kota Damaskus, Abu Sa’ad al-Harawi. Sesampainya di Baghadad, al-Harawi melakukan sebuah tindakan provokatif untuk memancing emosi kaum Muslimin. Ketika itu hari Jum’at, 19 Agustus 1099, menjelang tengah hari. Orang-orang berbondong-bondong menuju Masjid Jami’ kota Baghdad.

Al-Harawi sengaja duduk di dekat masjid, di tempat yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan dia makan di tempat umum tersebut, ketika semua orang sedang berpuasa. Hal semacam ini jika dilakukan pada hari ini di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim tetapi secara resmi berpaham sekuler, tentu akan tetap menimbulkan kemarahan orang banyak. Apalagi jika ia dilakukan di Baghdad, di pusat kekhalifahan Islam, pada masa itu. Al-Harawi sebagai seorang musafir tentu dibolehkan tidak berpuasa, tetapi orang-orang tidak mengetahui hal ini, dan makan di tempat terbuka di siang hari pada bulan Ramadhan merupakan sebuah pelanggaran etika sosial yang dipandang cukup serius.

Maka orang-orang pun mengerumuni al-Harawi. Mereka menegur dan marah kepadanya. Tapi al-Harawi tetap melanjutkan makannya dengan tenang. Tak lama kemudian petugas keamanan yang berada di dekat situ mulai datang ke tempat itu. Pada saat itulah al-Harawi bangkit berdiri di tengah kerumunan orang ramai. Dengan kemampuan orasinya yang bagus ia bertanya kepada khalayak ramai, bagaimana mungkin mereka bisa begitu peduli dengan pelanggaran puasa di bulan Ramadhan, tetapi pada saat yang sama mereka nyaris tidak peduli dengan pelanggaran dan pertumpahan darah yang menimpa saudara-saudara mereka di al-Quds dan sekitarnya? Bagaimana mereka bisa tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa di sana? Ia memberikan orasi, menceritakan apa yang telah terjadi, dan membacakan syair-syair yang menyentuh, sehingga semua orang menjadi tertegun dan menangis karenanya.

Al-Harawi dan rombongannya kemudian pergi menemui Khalifah di istananya. Khalifah dan orang-orang dekatnya menerima rombongan ini, mendengarkan kisah dan ekspresi kesedihan mereka, sehingga ikut menangis juga saat mendengar semua itu. Tapi masalahnya, khalifah pada masa itu tidak memiliki kekuasaan yang riil untuk membantu kaum Muslimin di Syria dan Palestina. Tidak ada tindakan nyata yang diambil setelah itu. Maka orasi dan protes al-Harawi dan rombongannya hanya berujung pada tangisan manusia, atau mungkin juga doa dari mereka, tidak lebih dari itu.

Demikianlah nasib al-Quds ketika itu. Ia jatuh ke tangan pasukan Salib dan dikusai oleh mereka selama hampir satu abad. Kota ini perlu menunggu waktu yang cukup lama sebelum muncul kekuatan baru di Syria yang siap dan mampu untuk membebaskannya.

Kini al-Quds pun telah sekian dekade dikuasai oleh zionis. Kaum zionis ini pun banyak melakukan pembunuhan dan perilaku keji terhadap rakyat sipil yang ada di Palestina. Dan Muslim pada hari ini tidak memiliki kemampuan untuk membebaskannya. Mereka lemah dan sibuk memperlemah diri sendiri. Seolah-olah kelemahan yang ada belum mencukupi bagi mereka. Banyak dari Muslim hari ini pun mungkin hanya sanggup berdoa dan menangis saat mendengar apa yang terjadi di Palestina, ataupun di bumi-bumi Muslim yang lain. Bahkan mungkin banyak dari mereka yang tak peduli. “Toh mereka bukan saudara atau kawan saya,” gumam sebagian mereka, sambil sibuk mengirim dukungan SMS untuk salah satu kontestan Indonesian Idol atau sambil terkagum-kagum membolak-balik halaman buku yang ditulis oleh Irshad Manji.

Sejarah memang sering berulang. Dan seolah-olah syair yang ditulis oleh seorang penyair pada masa itu, sebagai respons atas kejatuhan al-Quds, kembali bergema pada hari ini:
“Putra-putra Islam, di belakangmu ada pertempuran yang di dalamnya kepala-kepala menggelinding di antara kakimu.
Beraninya kalian tidur-tiduran di balik bayang-bayang keamanan, dalam hidup yang lembek seperti bunga-bungaan di taman?
Bagaimana mungkin mata dapat tertidur di balik pelupuknya di saat terjadi bencana yang akan membangkitkan setiap orang yang tidur?
Sementara saudara-saudara kalian di Suriah hanya dapat tidur di atas hewan-hewan tunggangan, atau di dalam perut burung-burung pemakan bangkai!”
Dan, seorang seorang penyair lainnya menulis bait yang menusuk ini:
“Tidakkah kalian berhutang kepada Allah dan Islam, untuk membela anak muda dan orang tua?
Jawablah kepada Tuhan! Terkutuklah kalian! Jawab..!”
Ya Allah, mungkin keadaan kami pada hari ini memang sudah demikian buruknya. Entah bagaimana kami akan menjawabnya...*/Singapura, 26 Sya’ban 1433/ 16 Juli 2012.

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia.

No comments:

Post a Comment