18.4.12

“Teroris” Sertifikat ‘Halal Membunuh’ Bagi Negara?

Oleh: Harits Abu Ulya

DI TENGAH suhu politik mulai memanas karena rencana kenaikan harga BBM, publik kembali dibuat terkejut dengan tewasnya 5 orang ditangan Densus 88 pada hari minggu (18/3/2012) di dua tempat yang berbeda di Jl Gunung Sapotan Denpasar dan di Jl Danau Poso Sanur Denpasar. Tindakan Detasemen Khsusus (Densus) 88 mendapatkan pembenaran dari Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai usai melakukan rapat bersama Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/3)."Kami tidak salah tembak dan kelima orang tersebut benar-benar teroris," tegas Ansyaad.(RMOL 19/3/2012)

Dan 5 pelaku jaringan teroris versi BNPT itu adalah HN (32) asal Bandung DPO perampokan CIMB Medan, AG (30) warga Jimbaran. Keduanya disergap di kawasan Gunung Soputan. 3 Orang lainnya yakni UH alias Kapten, Dd (27) asal Bandung, dan M alias Abu Hanif (30) asal Makasar mereka disergap di kawasan Jalan Danau Poso.

Alasan kenapa 5 orang itu tewas, dikatakan Boy Rafli Amar Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Senin (18/3/2012), karena saat ditangkap melakukan perlawanan, sehingga terjadi saling baku tembak antara teroris dengan Densus 88 Antiteror Polri. (Liputan6.com,19/3/2012)

Beberapa peristiwa sebelumnya yang masih bisa dikait-kaitkan dengan isu terorisme juga muncul. Bom pipa meledak di dekat pembangunan pesantren di Semarang, Jawa Tengah pada Kamis (15/3/2012). Tepatnya Bom tersebut meledak di di Jalan Tamtama Barat IX, RT 8 RW 9, Kelurahan Jangli, Semarang.Tiga tukang bangunan menjadi korban luka. Imam Sukayat adalah orang yang menemukan bom pipa sekaligus sebagai tersangka ternyata hanya seorang yang lemah mental.

Di hari berikutnya terjadi penembakan gereja di Indramayu terjadi pada Jumat (16/3/2012). Pelaku menggunakan airsoft gun untuk menembaki gereja. Aksi penembakan ini mengakibatkan kerugian materil berupa jendela kaca gereja yang pecah dan 2 Orang ditangkap terkait peristiwa ini.

Pada hari Senin malam (19/3/2012) paska peristiwa di Bali, sebuah bom juga meledak di Tuban-Jatim, tepatnya dibelakang rumah Ghofur (49) warga Desa Bangilan, Kecamatan Bangilan. Ghofur dan istrinya Zairoh mengalami luka parah pada kaki akibat ledakan.(korantempo,20/3/2012)

Melahirkan banyak pertanyaan

Menurut saya, peristiwa diatas wajar kalau melahirkan banyak pertanyaan di benak publik. Karena saya menangkap ada “gerakan aneh” meminjam istilah Pak SBY dengan memunculkan kembali isu terorisme di saat suhu politik memanas karena rencana kenaikan harga BBM. Berikut kita bisa mendedah “gerakan aneh” tersebut;

Pertama; kenapa kasus terorisme terkesan dipakai untuk memalingkan isu kenaikan BBM? Pemerintah (Rezim SBY) dengan kalkulasi intelijennya mengetahui persis, kali ini suhu politik mulai memanas karena faktor rencana kenaikan BBM. Berbeda dengan skandal Century, kenaikan BBM menyangkut perut rakyat dan tentu lebih sensitif melahirkan perlawanan dari semua elemen. Sementara Century Gate adalah isu yang mengelitis dan tidak cukup menjadi energi yang bisa meng-agitasi rakyat untuk bergerak melawan.Apalagi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait kenaikan BBM ada point yang menunjukkan ketidakjujuran (bohong) kepada rakyat dengan argumentasi yang tidak transparan. Wajar kalau kemudian perlu pengalihan isu dan mempengaruhi persepsi publik terhadap persoalan ini. Terorisme masih bisa dijadikan sebagai instrument pengalihan isu, sekalipun faktanya tidak begitu “laku” dan “menarik” bagi publik. Masyarakat sudah sangat apatis terkait isu terorisme.

Kedua; satu dari 5 orang yang tewas adalah DPO kasus perampokan Bank CIMB di Medan-Sumut. Dan mereka sudah dalam pantauan sebulan sebelum eksekusi bahkan kapan mereka masuk ke Bali juga terpantau. Pertanyaannya adalah, kalau menurut BNPT langkah pre-emptif itu adalah yang terbaik kemudian kenapa harus di gerebek di Bali, kenapa tidak di pelabuhan Ketapang-Banyuwangi? Ataukah cerita itu akan lebih menarik jika eksekusi dilakukan di Bali, pas juga momentum jelang hari raya Nyepi? Maka pemilihan waktu dan tempat terlihat ada maksud yang lebih besar dari sekedar menggrebek dan menewaskan 5 orang terduga perampokan.

Ketiga; sebenarnya siapa yang punya otoritas di Indonesia untuk menetapkan seseorang teroris atau bukan? BNPT dengan Densusnya atau pengadilan dengan UU No 15 tahun 2003-nya? Kenapa demikian mudah BNPT memvonis seorang itu pasti “teroris”?

Kalau kembali belajar pada kasus perampokan Bank CIMB, jika berangkat dari TKP maka yang terjadi adalah tindak pidana criminal perampokan. Dan label teroris kemudian dilekatkan itu sudah sangat politis. Bahkan nilai politisnya ini di paksakan, sehingga banyak ditemukan gap dilapangan antara isu terorisme yang dikemas oleh Mabes Polri dengan fakta-fakta dilapangan yang mengindikasikan bahwa tidak layak sama sekali perampokan di cap sebagai aksi terorisme.Tidak ada kaitanya dengan motif “negara Islam”, yang lebih dominan karena faktor ekonomi.

Dan sangat naïf kalau pengadilan membawa kasus kriminal ke ranah politik dan seorang dipaksa dengan hukuman berdasarkan UU Terorisme No 15 tahun 2003. Sungguh Aneh!

Kali ini, lima orang yang terkapar tewas itu juga kena dampak logika paralel dari BNPT. Karena salah satu diantara mereka adalah DPO “teroris CIMB”, maka mereka juga di cap teroris, di tambah lagi dengan cerita empat orang sisanya masih terkait dengan jaringan Solo-Tauhid wal Jihad-. Kalau obyektif berangkat dari TKP maka benar seperti pernyatakan pihak Polda Bali, berbeda dengan BNPT, Kabid Humas Polda Bali Kombes Hariadi mengatakan, kelima orang yang tewas ditembak datang ke Bali bukanlah teroris. Melainkan murni perampokan. Di sela olah tempat kejadian perkara, baru-baru ini, Hariadi menegaskan, motif para pelaku adalah murni tindakan kriminal perampokan. Mereka bakal beraksi di kawasan Kuta dan Uluwatu.(Liputan6.com, 19/3/2012)

Dalam kasus yang senada, kenapa orang yang dicurigai hendak korupsi tidak di eksekusi saja? Kenapa para preman yang diduga dan dicurigai bakal membuat banyak onar dan kejahatan (criminal) tidak di eksekusi saja?, Ini baru di duga mau merampok saja bisa.

Keempat; nasib 5 orang itu tidak semujur John Key (bos preman), dia hanya dilumpuhkan dengan tembakan di bagian kaki. Tapi berbeda dengan kasus orang yang di cap teroris, sekalipun menurut sumber tunggal dari pihak aparat Polri bahwa mereka melawan saat penggrebekan bukan berarti itu juga menjadi legitimasi halal membunuh mereka. Apalagi kalau 5 orang tersebut hanya memegang 2 pucuk senjata Gun (pistol), artinya 3 orang sisanya tidak memiliki potensi untuk melawan dengan menembak aparat. Bom juga tidak ditemukan.Bukankah Densus 88 sudah cukup terlatih dan tidak sulit kalau targetnya harus dilumpuhkan? Tidak perlu di tembak hingga tewas. Harimau yang lepas dari kandang saja dengan tembakan bius dalam kadar yang tinggi bisa melumpuhkan keganasanya, kenapa ini tidak dilakukan. Tapi seolah-olah order dari bos Densus 88 mereka harus mati. Lebih konyol lagi setelah mereka tewas dan tidak bisa lagi di konfirmasi kemudian BNPT membuat tuduhan-tuduhan yang sangat sumir. Mereka pasti terorislah, mereka terkait JAT lah, dan kemudian mengajukan rencana dan agenda-agenda BNPT berikutnya kepada DPR.

Kelima; orang-orang yang tewas dari kelompok yang dicap teroris sudah 56 orang, bahkan angka akan terus bergerak. Dan sekarang ditambah dengan 5 orang, sementara yang mati dengan prosedur pengadilan dalam kasus terorisme hanya Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas. Diluar itu termasuk 5 orang yang baru tewas masuk dalam katagori exstra judicial killing, dan ini pelanggaran serius terhadap HAM. Asas praduga tidak bersalah dilempar ditong sampah, tidak berlaku untuk teroris. Orang hanya baru di duga, disangka berdasarkan laporan awal intelijen atau bahkan hanya karena asumsi bisa tewas ditangan Densus 88 karena alasan utamanya adalah teroris. Dan sekarang menimpa kepada 5 orang dan dengan alasan yang sangat konyol. Mereka di duga hendak merampok, dia di duga hendak membuat teror diberbagai tempat di Bali, dia diduga hendak membuat bom dari hasil rampokannya, dan semua itu belum pernah terjadi bahkan juga belum pernah di buktikan di depan pengadilan. Tapi karena mereka adalah “teroris” dan dengan alasan pre-emptif menjadi “halal” untuk di ambil nyawanya. Dan ini adalah kejahatan yang di legalkan, dan ini adalah kejahatan yang di diamkan, bahkan nyaris tidak terdengar kritik yang datang dari wakil rakyat atau penggiat HAM atas tindakan-tindakan “teroris” ala BNPT ini.Kalau ingatan kita kembali pada masa reformasi ada “tim Mawar” yang di adili bahkan menjadikan Letjen Prabowo di pecat dengan tidak hormat, sekarang sebenar-benarnya tindakan aparat dalam isu teorisme sudah lebih dari apa yang dilakukan “tim Mawar”.

Maka menjadi aneh kalau menangani 5 orang tersebut dengan target tewas. Saya menduga kuat, karena order dari Bos orang-orang yang dilapangan memang seperti itu. Karena orang dilapangan terkait nyawa orang tidak begitu mudahnya mempunyai kewenangan menjadi malaikat pencabut nyawa dengan hanya berdasarkan asumsi dalam kondisi bahaya. Dunia saat ini menyaksikan BNPT seolah-olah mendapat sertifikat halal untuk membunuh siapapun kalau mereka dapat lebel teroris. Dan kasus ini tidak jauh berbeda dengan Amerika yang hancurkan sebuah negara dan membunuh ribuan orang hanya karena alasan perang melawan terorisme. Dan tidak kalah biadapnya dengan kelakuan persis Zionis Israil yang suka menumpahkan darah orang-orang Palestina.

Seharusnya kontra-terorisme ala BNPT perlu di evaluasi secara serius, bukan malah DPR melalui komisi III merespon rencana BNPT dengan ajuan anggaran yang totalnya 327 miliar rupiah. BNPT meminta gedung baru senilai Rp 210 miliar dan dapat direalisasikan dalam APBNP 2012.Selain itu BNPT juga mengusulkan pembuatan pusat latihan antiteror BNPT dengan anggaran Rp 3,9 miliar. Tak hanya itu, BNPT juga mengajukan anggaran pengadaan peralatan IT. Dalam rangka meningkatkan mutu satgas operasional dan penindakan BNPT senilai Rp 105 miliar.

Kapan negeri ini betul-betul kuncup keadilan? Kalau negara Indonesia katanya negara hukum, lantas apa yang disaksikan public hari ini apa bisa dibilang negara hukum? Atau mungkin lebih tepat adalah negara “rimba”, yang kuat yang menang.

Yang punya duit dan kekuasaan bisa mendapatkan keadilan versi mereka.Yang miskin, orang kecil, orang yang di tuduh teroris menjadi seperti “sampah” yang tidak berharga. Subhanallah…wallahu a’lam.*

Pemerhati Kontra-Terorisme dan Direktur CIIA –The Community Of Ideological Islamic Analys

No comments:

Post a Comment