12.8.11

Siapa yang Lebih Membahayakan NKRI?

Oleh: Harits Abu Ulya

DALAM sebuah wawancara dengan situs Kristen Reformata berujudul, “Tujuan Mereka Adalah Negara Islam!” (di Posting 07 Juni 2011), Kepala BNPT Ansyaad Mbai untuk kesekian kalinya mencoba menjelaskan cara pandangnya terhadap persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Di kota Makasar-Sulsel, BNPT juga pernah menggelar seminar nasional bertajuk “Ayo Lawan Terorisme”, di Balai Prajurit M Yusuf, Makassar, Rabu (25 Mei 2011). Saat itu, tampil sebagai pemateri, Kepala BNPT Ansyaad Mbai, Perwakilan Kedutaan Australia Andrew Barner, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Perwakilan Kadin Indonesia Wibawanto Nugroho, Ketua Komisi I DPR RI Luthfi Hasan Ishak dan dipandu Guru Besar UIN, Prof Dr Hamdan Juhannis.

Mbai dihadapan ratusan remaja dan mahasiswa juga mengulang penjelasan yang sama seperti diberbagai forum sebelumnya. Penulis melihatnya hal ini wajar. Beliau harus bicara di mana-mana dengan konten seperti itu karena posisinya di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Tapi yang menjadi tidak wajar jika kita menguji pemikiran (doktrin) Mbai terkait persoalan terorisme dan akar masalahnya. Dalam wawancaranya dengan situs Reformata minimal ada beberapa poin yang bisa kita uji kesahihannya.

Pertama; ia mengatakan, ciri-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu suka mengkafirkan orang. “Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda saja, dalam tata ibadah misalnya, itu sudah dianggapnya kafir.”

Kedua, beliau juga mengatakan, ciri-ciri mereka selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghukum yang lain. “Tujuan gerakan mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan khilafah. Ini ancaman bagi NKRI, karena itu Presiden selalu mengatakan, negara tidak boleh kalah, bagitu katanya.
Ketiga, Mbai juga mengatakan begini; “jelas tujuan mereka adalah Negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam.”

Ada banyak hal yang perlu ditanggapi masalah ini. Pertama, cara main kutip tanpa memperhatikan kredibilitas buku adalah sangat berbahaya. Lebih-lebih referensinya buku “Ilusi Negara Islam” terbitan LibForAll Foundation (kerjasama The Wahid Institut dengan Ma’arif Institut dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika yang diluncurkan 16 Mei 2009) ini telah banyak menuai kritikan.

Empat peniliti asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham, Nur khalik Ridwan, memprotes isi buku “Ilusi Negara Islam” tersebut. Buku itu dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya “mengadu domba” umat Islam. Aneh bukan?

Buku yang memuat hasil penelitian mereka (4 orang di atas), tapi justru ketika jadi buku isinya jauh dari apa yang ditelitinya. Isi dari buku telah menyimpang dari yang mereka teliti selain mereka juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan. Dan tujuan penerbitan di nilai telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik kepada kepentingan politis. Dan ini diperkuat hampir semua peneliti daerah yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah diajak untuk berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan hasil penelitian yang utuh. Di catutnya para peneliti daerah hanya untuk melegitimasi kepentingan politis pihak asing. Sebagaimana dilakukan Holland Taylor dari Lib For All, Amerika Serikat yang begitu dominan bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku itu. Jika malu mengatakan buku ini ilmiah. Dari sini saja sudah bermasalah, kenapa hasilnya juga dipaksakan seolah itu pendapat shahih? Apalagi yang disimpulkan itu masalah penting, menyangkut syariat Islam.

Serasa lebih aneh lagi dengan buku tersebut ketika mencantumkan Gus Dur menjadi editornya. Padahal, pada saat itu Gus Dur terganggu penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa mengeditnya, aneh bukan?

Penulis pernah menjadi salah satu penanggap dalam diskusi terbatas yang di lakukan Litbang Depag Pusat (Tahun 2010), membahas buku “Ilusi Negara Islam” dengan menghadirkan salah satu narasumbernya adalah Direktur The Wahid Institute. Banyak perserta diskusi mengkritisi dan tidak puas bahkan meragukan kredibilitas dan intelektualistas orang-orang The Wahid Institute jika mengacu kepada produk buku “Ilusi Negara Islam”. Sebuah buku yang substansinya sarat adu domba dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku yang cacat secara ilmiah. Namun tetap saja, buku ini tak pernah direvisi dan tidak pernah ditarik. Bagaimana mungkin sebuah istitusi riset masih saja mengeluarkan buku bermasalah? Ada apa ini?

Rupanya, buku semacam inilah yang dijadikan referensi Ansyaad Mbai untuk menjelaskan doktrin-doktrinya siapakah yang dianggap radikal atau yang bukan radikal. Apalagi itu dilakukan dengan sebuah parameter yang gegabah dan sarat dengan cara pandang yang tendensius.

Dengan tetap memaksakan menggunakan buku “Ilusi Negara Islam”, Mbai, kata orang Jawa, ingin “nggepuk, nyilih tangan” (memukul dengan meminjam tangan orang, red).

Bagi Mbai --seperti yang pernah ia ungkapkan juga di Loka Karya Sespim 27 Oktober 2009-- pada umumnya jika seorang mempunyai persepsi (mindset) tentang adanya kondisi yang menindas secara terus menerus oleh Barat pimpinan AS terhadap Islam. Dan kemudian menganggap bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah maka cukup seorang bisa di labeli Radikal bahkan teroris. Nah, jika itu alasanya, akan banyak para intelektual dan para pengamat politik yang masuk kategori “radikal” dan “teroris”. Apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban dalam Islam “amar makruf nahi munkar”, berapa juta orang yang akan masuk radikal jika mereka dengan beraninya mengkritisi setiap kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa atau oleh negara imperialis semacam Amerika?

Sungguh naïf sekali jika pendapatnya untuk mengidentifikasi seorang itu radikal atau tidak dengan ciri-ciri sangat sederhana. Bahkan terlihat lebay memberikan label radikal jika ada seorang mengkafirkan orang lain karena berbeda dalam masalah ibadahnya. Betulkah demikian? Apakah ada di ormas Islam NU, Muhamadiyah, AL Wasilah, Al Irsyad atau DDII saling mengkafirkan karena perbedaan dalam wilayah ibadah (furu’iyah)? Umat Islam tak sebego itu melakukannya. Mereka memang berbeda pendapat, namun mengkafirkan orang itu bukan masalah main-main. Hukumannya sangat berat. Jadi di mana ada ormas atau kelompok Islam saling mengkafirkan? Dari mana dapat data itu? Mengapa hal seperti ini diungkapkan di publik tanpa data akurat?

Umat Islam “sudah melek akidah dan fiqh”, tak akan mengkafirkan atau memurtad kan orang” hanya untuk urusan furu’iyah (cabang-cabang ibadah).

Kedua, lebih setia mana kelompok Islam dan pesantren dengan kelompok yang mengusung semangat etno-nasionalism atau separatism seperti OPM (organisasi Papua Merdeka) dan Republik Maluku Selatan (RMS)? Ribuan pesantren di Indonesia hadir justru untuk membantu pemerintah mengatasi kemiskinan dan tingkat buta huruf. Harusnya beruntung pemerintah pada mereka yang ingin mendirikan sekolah-sekolah gratis dan menyelanggarakan pendidikan tanpa bantuan pemerintah. Betapa pusingnya pemerintah jika semua harus ditanggung. Sedang mengurusi Century dan operasinya Malinda Dee saja sudah pusing.

Banyak mahasiswa aktif di masjid-masjid kampus. Mereka rajin shalat dan rajin belajar. Karena sifat berislam itu, jika ia makin beriman, maka ia majin rajin dan ingin berprestasi. Maka tak sedikit aktivis kampus itu menjadi peneliti, doktor dan profesor dan akhirnya menjadi cendekiawan yang akhirnya membantu dan menjadi mitra pemerintah juga.

Mereka kuliah sembari belajar agama, supaya mereka tidak menjadi ilmuwan, politisi atau teknokrat yang koruptor. Sudah beruntung pemerintah tidak mengeluarkan biaya training mereka selama kuliah. Lha kok para aktivis Islam ini justru "diburu?" dan dimasuk-masukkan kategori "radikal” dan “teroris”. Mengapa bukan para bandar narkoba yang merusak mental jutaan remaja kita?

Kenapa pula BNPT dengan Densus 88 tidak bekerja keras menangkap OPM, RMS dan bandar narkoba dan para koruptor selama 7 kali 24 jam? Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang aktifis Islam dalam bui rezim karena dikaitkan dengan “terorisme”.

Di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Di antaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).

Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator minyak dan gas, 75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Begitu pula telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak dikuasai asing (lihat, Kompas, 22/5).

Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Ketiga, Mbai mencontohkan Malaysia dan Singapura tentang perangkat hukum. Menurutnya, Malaysia sangat keras terhadap kelompok Islam. Menurutnya, di sana, radikalis tidak memiliki ruang gerak. Ia mencontohkan Mahathir, mantan perdana menteri Malaysia yang dianggap tegas. Sebab semua ceramah, dakwah atau apa pun yang ditengarai menyebarkan permusuhan dan kebencian, itu ditangkap dan dimonitor. Sungguh aneh, apa yang dilakukan Mahatir (yang sebenarnya ingin meniru Pak Harto) dianggap mundur. Sebab di hari akhir, pak Harto merevisi kebijakannya semasa Orde Baru. Lha kok pak Mbai ingin kita seperti Orde Baru lagi?

Atau mungkinkah pemerintah ingin menerapkan kembali masa Orde Baru, sebagaimana kini diterapkan di Malaysia? Di mana semua masjid akan diberi kamera? Aktivis Islam ditangkapi dan dipenjara? Mengapa tak berkaca pada jatuhnya Soeharto, Revolusi di Mesir, Aljazair dan beberapa Negara Timur Tengah?

Sebagai bagian dari umat, rasanya ingin sekali penulis berdiskusi secara gayeng dengan Mbai. Sayang, di banyak kesempatan beliau jarang membuka ruang dialog secara fair dan gayeng. Dalam banyak diskusi yang saya temui, beliau datang, lantas pergi.

Telah banyak darah umat Islam tumpah untuk negeri ini. Banyak pula darah syuhada, ulama, dan para santri sebagai saksi memperjuangkan negeri ini berdiri seperti sekarang. Jadi, mengapa masih saja umat Islam dianggap membahayakan NKRI dan dipertanyakan kesetiannya?

Penulis Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI

No comments:

Post a Comment