12.8.11

“Negara Agama” Versi Siapa?

Oleh: Sarah Mantovani

BELUM lama ini, dalam sebuah wawancara di sebuah media, Ansyad Mbai, Kepala Badan Nasional Penangggulangan Terorisme menebutkan tujuan kelompok radikal di Indonesia. “Tujuan gerakan mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama,” ujarnya.

Meski pernyataan itu disampaikan Ansyad Mbai di sebuah situs Kristen, Reformata.com terkait dengan Penanggulangan Terorisme pada tanggal 07 Juni 2011 lalu, namun tetap penting ditanggapi.

***

Hingga kini, penyebutan istilah ‘Negara agama’ yang di lekatkan pada Islam mempunyai momok yang menakutkan bagi sebagian orang, karena penggunaan istilah Negara agama pada Islam bersamaan pula dengan istilah Islam Radikal yang cirri-cirinya disebutkan ingin menegakkan Syari’at Islam sebagai hukum Negara. Tak hanya itu, kini dari orang-orang Islam pun sepertinya senang melekatkan istilah ‘Negara agama’ bagi Negara-negara yang menerapkan Hukum Islam. Padahal jika di telusuri dari sejarahnya, istilah Negara agama bukan berasal ataupun datang dari Islam, melainkan berasal dari Barat. Tentunya hal ini akan berimplikasi serius, karena istilah ‘Negara agama’ yang sudah lahir sejak tahun 37 M ini ternyata berbeda jauh dengan Negara versi Islam yang sebenarnya.

Terlebih dahulu perlu kita bedakan antara Negara dengan konsep Islam dan Theocracy ala Barat. Karena meski sama-sama diperintah oleh Tuhan tetapi keduanya jauh berbeda.

Term Theocracy sendiri berasal dari kata Theos yang berarti Tuhan dan Cracy yang berarti kekuasaan. Jadi Theocracy adalah pemerintahan oleh Tuhan. Dalam The Concise Oxford Dictionary, hlm. 1321, misalnya, istilah ini jelas di kaitkan dengan pengertian pemerintahan atau Negara yang di perintah oleh Tuhan, langsung atau melalui suatu kelas kependetaan.

Dalam sistem kependetaan ini, pemahaman keagamaan di strukturkan secara hierarkis di tangan para ahbar (para pemimpin hierarki keagamaan), para ruhban (orang-orang suci) atau malah andad (orang-orang yang dalam wewenang keagamaannya menjadi semacam saingan Tuhan). istilah Theocracy ini menurut Majid Khadduri, pertama kali di gunakan oleh Flavius Josephus untuk memperlihatkan ciri negara Yahudi pada permulaan era Kristen (kira-kira pada tahun 37-100 M).

Kemudian istilah ini dipakai pula secara tidak tepat oleh J. Wellhausen untuk menyebut tipe negara-negara Arab (baca: Islam).

Pada negara dengan konsep Islam tidak menerapkan sistem kependetaan seperti Teokrasi ala Barat melainkan menerapkan sistem politik yang dilandaskan pada tiga prinsip, yakni Tawhid (Ke-Esaan Tuhan), Risalah (Kerasulan) dan Khilafah (Ke-Khalifahan).

Tauhid berarti bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Pencipta, Pemelihara, dan Pemilik dari alam semesta dengan segenap isinya, baik organik maupun non-organik. Oleh karena itu, kita tidak bisa menentukan maksud dan tujuan eksistensi kita atau membatasi otoritas duniawi kita; juga tidak seorang pun memiliki hak untuk membuat keputusan-keputusan ini bagi kita. Hak ini hanya ada pada Tuhan.

Prinsip Ke-Esaan Tuhan ini menyebabkan konsep kedaulatan hukum dan politik manusia menjadi tidak berarti. Tidak ada satu pun individu, keluarga, golongan atau ras yang dapat menempatkannya melebihi Tuhan. Tuhan adalah Penguasa dan perintah-perintah-Nya merupakan hukum Islam.

Risalah adalah media di mana kita menerima hukum Tuhan. Kita telah menerima dua hal dari sumber ini, yakni Al-Qur’an, Kitab dimana Allah menguraikan hukum-hukumNya melalui Nabi Muhammad saw., melalui kata, dan perbuatan dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah. Al-Qur’an juga meletakkan prinsip-prinsip umum mengenai landasan kehidupan umat manusia dan utusan Allah, berdasarkan prinsip-prinsip ini, ditetapkan suatu sistem model kehidupan Islam. Kombinasi dari kedua unsur ini dinamakan Syari’ah (hukum).

Sedangkan Khilafah artinya “wakil”. Manusia, menurut Islam, adalah wakil Tuhan di atas dunia; yaitu karena mengemban kuasa yang didelegasikan kepadanya oleh Tuhan dan dalam batas-batas yang ditentukan, ia dituntut untuk melaksanakan kekuasaan Tuhan. Inilah yang dimaksudkan oleh Islam bahwa manusia adalah wakil (Khalifah) Tuhan di atas dunia.

Oleh karena itu, negara yang menerapkan teori politik ini merupakan suatu kekhalifahan di bawah kedaulatan Tuhan. Penjelasan mengenai istilah Khilafa ini menunjukkan bahwa tidak ada individu atau golongan yang dapat menjadi Khalifah; kekuasaan Khilafa diberikan kepada seluruh masyarakat yang benar-benar memenuhi syarat-syarat perwakilan serta mentaati prinsip-prinsip Tawhid dan risalah.

Dengan demikian, keseluruhan masyarakat harus mengemban tanggung jawab khilafa dan setiap orang merupakan bagian daripadanya.

Tahir Azhary, dalam “Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini” (Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 1991) mengatakan, konsep negara Islam ialah kekuasaan hukum (nomokrasi Islam). Dalam filsafat hukum Islam, hukum ada sebelum terwujudnya Negara. Artinya, Negara itu dibentuk dan dijalankan atas dasar hukum yang bersumber dari Allah SWT. Negara didirikan justru untuk mendukung usaha penegakan itu.

Seperti dinyatakan oleh Ibn Taimiyah, “Memimpin ummat merupakan kewajiban, dan agama tidak akan tegak kokoh tanpa pemimpin. Karena Allah telah mewajibkan kaum Muslimin untuk menyeru kepada kebaikan dan melarang setiap kemungkaran, membela orang teraniaya, berjihad, melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah, berlaku adil dalam menjatuhkan hukum, hal mana memerlukan kekuasaan dan komando”.

Ini artinya, Negara dalam konsep Islam pertama-tama adalah nomokrasi. Namun demikian, untuk mendirikan Negara dan menjalankan kepada standar yang ditentukan oleh hukum (syari’at), harus pula didasarkan kepada musyawarah antar sesama warga masyarakat. Prinsip musyawarah ini penting, karena dalam Islam, setiap manusia mempunyai predikat sebagai ‘khalifah’ Allah di bumi. Karena itu, setiap manusia memiliki kualitasnya masing-masing sebagai pribadi otonom dalam menentukan kehendak atas dasar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Dengan demikian, fungsi Negara dalam konsep Islam menjadi sekedar alat bantu yang diperlukan untuk menegakkan syari’at. Tetapi alat bantu ini tidak boleh keluar dari kerangka hukum Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, kedaulatan yang dimiliki oleh setiap manusia (rakyat) itu haruslah mengikuti standar-standar yang ditentukan oleh hukum (kedaulatan hukum) yang telah ditentukan Tuhan. Karena, kedaulatan rakyat itu hanyalah merupakan cermin dari kedaulatan yang hakiki, yaitu kedaulatan Allah SWT.

Teokrasi Barat vs Islam

Perbedaan antara Teokrasi ala Barat dengan Negara versi Islam pernah dijelaskan oleh Presiden pertama RI, Soekarno. Dalam kuliah umum yang di sampaikannya di Universitas Indonesia tanggal 07 Mei 1953 tentang “Negara Nasional dan Cita-cita Islam”, Soekarno menjelaskan:

“1).Islam mempunyai cita-cita kenegaraan; 2). Islam bukan saja mengatur soal hubungan manusia dengan Allah, soal ibadah dan kepercayaan tetapi mengatur juga soal-soal kehidupan dan hubungan manusia dengan masyarakat, sehingga tidak saja agama tetapi way of life yang mengatur segala soal kehidupan; 3). Islam tidak memisahkan gereja dari negara sebagaimana agama Kristen, tetapi agama dan Negara menurut Islam adalah bersatu dan sejalan; 4). Walaupun begitu, Islam tidak mengenal dan tidak membenarkan teokrasi karena dalam Islam tidak ada tingkatan-tingkatan kepadrian sebagaimana dalam agama Kristen; 5). Negara Islam menjamin kemerdekaan kepercayaan agama-agama lain dan memberi persamaan hak antara segala rakyat”.

Sama seperti Buya Hamka yang pernah menjelaskan Teokrasi ala Barat dengan mengatakan,”Term Theocracy timbul di negeri-negeri Barat sendiri, terutama sebelum pecah di antara golongan Katholik dengan golongan Protestan. Pada masa itu, Gereja Katholik memandang bahwa gereja adalah pelaksana juga dari pemerintahan dunia, sehingga raja-raja memohonkan kepada Paus di Vatikan agar dianugerahi dan direstui untuk memerintah. Dalam Kerajaan Prancis di samping raja mesti ada seorang Kardinal yang melaksanakan pemerintahan sebagai Perdana Menteri. Hukum yang dilancarkan katanya ialah Hukum Tuhan, sebab gereja memerintah di atas nama dan wakil Tuhan. Sabda gereja adalah undang-undang.

Sedang dalam ajaran yang pokok dari agama Islam sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. yang mendapat wahyu, semua urusan Negara dinamai urusan duniawi dan hendaklah semua itu dilakukan dengan musyawarah. Baik musyawarah yang dikehendaki oleh penguasa (wa syawirhum fil amri), atau musyawarah yang timbul atas inisiatif pemuka-pemuka rakyat sendiri (wa amruhum syuura bainahum).” (Rusydi Hamka, Biografi Prof. Dr. HAMKA, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1981)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, konsep Negara dalam versi Islam sangat berbeda dengan konsep Theocracy ala Barat. Lagipula, menurut Said Ramadhan, konsep Islam bertolak belakang dengan konsep ‘teokrasi’ Barat, konsep Islam justru merupakan pemberontakan total terhadap segala bentuk penuhanan terhadap sesama manusia. Sistem kependetaan demikian ditentang keras oleh Islam, seperti dinyatakan dalam QS. 9:31 dan QS. 2:165. Demikian pula, dalam hadis nabi yang terkenal dinyatakan “Tidak boleh ada kerahiban (rahbaniyah) dalam Islam”.
Bahkan dalam QS. 57:27 dinyatakan bahwa sistem kerahiban ini adalah bentuk penyimpangan dari agama yang benar. Agama Islam memahamkan tanggung jawab.

Oleh karena itu, konsep ini sama sekali berbeda dengan konsep teokrasi warisan bangsa Eropa abad pertengahan yang mewujudkan gagasan kedaulatan Tuhan dalam sistem kependetaan yang menyatu dengan kekuasaan para Raja. Seperti halnya dalam konsep Islam, teokrasi Barat pun menganggap Tuhan sebagai sumber dari pemegang kedaulatan. Tetapi teokrasi Barat menjelmakan kedaulatan Tuhan itu ke dalam diri jabatan kepala Negara. Bahkan, pada perkembangan di zaman abad pertengahan, kekuasaan kepala Negara (Raja) itu sendiri menyatu dengan konsep kependetaan dalam agama Kristen, sehingga teokrasi melahirkan sistem yang absolut. Hukum Tuhan dijalankan oleh Raja-Pendeta atas nama Tuhan yang mutlak. Karena itulah, isitilah teokrasi di zaman modern sekarang selalu digambarkan sebagai kejahatan dan kengerian yang dilakukan atas nama Tuhan.

Maka dari itu, konsep ‘negara Islam’ sendiri harus turut merasakan penderitaan akibat implikasi yang menyertai penggunaan istilah yang menyerupai ‘teokrasi’ ini.
Dengan demikian, jika kesimpulan di atas Negara agama adalah teokrasi ala Barat, timbul pertanyaan besar di benak saya, yang dimaksud Ansyad Mbai “Negara Agama” itu versi siapa?

Penulis sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Pamulang

No comments:

Post a Comment