12.8.11

"Ada Propaganda Menghilangkan Kata 'Jihad' dan ‘Islam’

Hidayatullah.com--HAMPIR setahun ini pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sibuk melakukan kampanye deradikalisasi.

Lembaga yang memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme dan dibentuk melalui kepres No 46 tahun 2010 ini beberapa kali membuat program “Halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme” di beberapa kota besar. Baru-baru ini, dalam sebuah wawancara dengan situs Kristen, Reformata, (07 Juni 2011), Ansyaad Mbai, Kepala BNPT mengatakan, tujuan gerakan radikal adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam.

Mengapa Islam seolah-oleh terus dihadapkan sebagai musuh negara? Apa dan bagaimana dampak dari kampanye deradikalisasi seperti ini?

Untuk menelaah persoalan ini, wartawan Hidayatullah.com, Ainuddin Chalik, mewawancarai Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya. “Setidaknya sudah banyak ibu-ibu mulai khawatir melepas anak-anaknya belajar ngaji ke masjid,” katanya. Apa maksudnya? Berikut petikannya:

Apa pendapat Anda tentang pernyataan Pak Ansyaad Mbai?

Saya tidak tahu apa maksudnya pernyataan dia. Mana ada teroris mendirikan negara Islam? Kalau benar teroris, pasti inginnya mendirikan negara preman dong. Masak negara Islam dibuat teroris. Perkataan seperti itu, nantinya akan menyakiti orang yang beragama Islam. Kalau Ansyaad memakai akal normal, pasti tidak berkata begitu. Logika dia sungguh sesat. Dia tidak bisa membedakan antara menegakkan syariat dengan pembentukan negara Islam. Terbukti dia menghubung-hubungkan NII dengan penegakkan syariat. Padahal itu sangat jauh.

Negara Islam tidak masalah. Banyak negara Islam juga baik-baik saja. Jadi jangan samakan antara negara Islam dengan gerakan makar. Itu dua hal yang berbeda. Wong Islam itu baik kok, jadi harusnya tidak ada masalah. Cuma sebagai catatan, untuk saat ini di Indonesia, masyarakat –terutama untuk kepentingan intelijen—tidak bisa menerima itu.

NII jaman Kartosoewiryo saja tidak bisa dibandingkan dengan jaman sekarang. Dan sejarah Kartosoewiryo saja belum tentu akurat, tapi kok sudah dijustifikasi sedemikian rupa untuk membanding-bandingkan dengan sejarah penegakan syariat masa kini. Pemerintah sendiri sudah mengijinkan penegakkan syariat seperti halnya yang terjadi di Aceh. Jadi menurut saya, Ansyaad perlu mempelajari kembali sejarah kita. Penegakan syariat jangan disamakan dengan makar. Bayangkan, kalau BNPT dilokomotifi orang yang tidak mengerti persoalan, betapa rawannya lembaga tersebut disalahgunakan.

Kesan apa yang Anda tangkap dalam kampanye deradikalisasi tersebut?

Ada gerakan merusak Islam secara sistemik. Saya meyakini, ada upaya besar-besaran guna menyambut propaganda besar Amerika untuk menghilangkan kata jihad, Islam, jamaah serta frasa khilafah-Islamiyah dari muka bumi. Jadi sesungguhnya peradaban Islam-lah yang diserang.

Apa indikasinya?

Terlihat dari cara kerjanya. Mantan mujahidin dikesankan teroris. Simbol-simbol Islam di-blow up untuk kerja-kerja anti teror. Orang beramal diputarbalikkan faktanya sehingga menjadi penyokong dana teror. Orang ingin berpakaian cara keyakinannya, dipelintir jadi pakaian teroris. Dan ini berlangsung di seluruh dunia.

Saya menengarai banyak aparat keamanan –khususnya intelijen—sangat tidak paham persoalan Islam.

Menurut Anda apakah kerja BNPT selama ini telah maksimal?

Yang harus diperhatikan, apakah BNPT bisa membedakan antara korban terorisme dengan pelaku terorisme? Bandingkanlah dengan kasus narkotika. Ada istilah korban penyalahgunaan narkotika yang mesti direhabilitasi di tempat khusus. Kenapa kalau kasus teror tidak? BNPT mestinya bisa melakukan klasifikasi seperti itu. Jangan dipukul rata semua yang disebut namanya oleh tersangka bom yang ditangkap, langsung dikategorikan sebagai pelaku teror, lalu dibikinkan daftar pencarian orang (DPO).

Menurut saya, BNPT malah menimbulkan banyak fitnah akibat kepala BNPT yang tidak menguasai perkembangan, khususnya masalah Islam. Akibatnya fungsi re-edukasi dan re-sosialisasi dalam rangka de-radikalisasi banyak disalahtafsirkan.

Kenapa Anda menyebut itu disalahtafsirkan?

Fungsi BNPT dan BIN bertukar fungsi sehingga amburadul. Kalau hasilnya adalah orang takut belajar dan bicara agama serta takut beribadah, itu berarti fungsi BNPT disalahgunakan.

Saya melihat penanganan teror selama ini ternyata tidak mengalami kemajuan. Cara yang dipakai Densus 88 cenderung tidak manusiawi terhadap orang yang belum tentu bersalah.

Sekedar catatan, di Amerika sendiri, tak ada lagi tertuduh kasus terorisme dengan tembak mati. Tetapi, di negara kita ternyata masih obral nyawa dengan menembak mati orang yang masih terduga. Hampir setiap waktu. Bahkan diliput TV. Mungkin Amerika tertawa melihat aksi aparat Indonesia.

Saya ingat perkataan seorang ahli hukum terkenal, Cesare Beccaria dalam bukunya “Dei Deliti e Delle Pene (An Essay on Crimes and Punishment)” menyatakan bahwa, “Seseorang tidak bisa dihakimi sebagai penjahat sebelum dia dinyatakan bersalah.”

Sejumlah pemberitaan media terkesan menggiring masyarakat untuk antipati terhadap Islam, bagaimana menurut Anda?

Saat ini, ada tiga kata dan satu frasa yang ditakuti Amerika dan sekutunya. Yakni jihad, Islam, jamaah serta frasa Khilafah-Islamiyah. Selama kata itu masih terucap di masjid-masjid, di forum-forum majelis ilmu, maka upaya untuk melunturkan dan mengaburkannya akan terus dilakukan.

Mereka membuat umat Islam takut mempelajari al-Qur’an. Ini tak hanya membuat orang non-Muslim phobia terhadap Islam, tapi dengan harapan membuat orang Muslim phobia terhadap agamanya sendiri.

Kira-kira apa dampak dari semua ini?

Setidaknya sudah banyak ibu-ibu mulai khawatir melepas anak-anaknya belajar ngaji ke masjid, kursus bahasa Arab dan takut ikut kegiatan Kerohanian Islam (Rohis).

Semua golongan direkayasa agar tidak mempercayai rekan seagamanya sendiri. Mau berjamaah di masjid, takut kena rekrutan NII dan terorisme. Mau ikut diskusi Islam, takut terjerumus aliran sesat. Mau menjadi mahasiswa baru, takut dibrainwash (cuci otak, red). Mau berbaju Muslim taat, takut dibilang teroris.

Jadi gejala apa sebenarnya ini?

Itulah pintar-pintarnya intelijen. Saya ingat kasus peledakan Borobudur tahun 1985 silam. Seseorang bernama Muhammad Jawad alias Ibrahim, mendekati pemuda-pemuda di Malang. Beberapa pengasuh pondok pesantren juga diceramahi oleh Jawad soal beringasnya aparat saat peristiwa Tanjung Priok tahun 1983. Jawad memprovokasi mereka dan mengajak balas dendam terhadap pemerintah.

Adalah Abdulkadir Ali Alhabsyi dan Husein Ali Alhabsy --kakak beradik-- yang dikenal alim ini akhirnya terprovokasi. Mereka meledakkan Borobudur dan akhirnya ditangkap. Anehnya, Muhammad Jawad tidak pernah dicari polisi hingga sekarang. Orang yang alim saja bisa dibikin teroris, apalagi orang yang tiba-tiba menjadi alim.

Sejarah masa lalu sepertinya tidak banyak kita pelajari dan tidak ditengok. Sementara itu, kejadian seperti ini terus berulang, namun masyarakat tetap bebal dan malas berhati-hati. Wajar saja jika mudah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk dilibatkan pelan-pelan ke dalam konflik terorisme.* [Mustofa B. Nahrawardaya]

No comments:

Post a Comment