16.8.10

Feminis Sejati, Bisa Berbagi Suami!

Feminis sejati tidak mencela perilaku poligami, itulah yang dialami Asiila Rasool. Berbagi suami selama 18 tahun

Hidayatullah.com--Asiila Rasool adalah perempuan berusia 53 tahun, seorang pelaku homeschooling, bidan dan penulis. Ia menikah, memiliki keluarga besar dan mempunyai misi menegakkan ajaran-ajaran sunnah Nabi yang telah banyak ditinggalkan umat Islam.

Pertengahan Juli 2010 lalu melalui Altmuslimah, ia mencoba berbagi rasa tentang kehidupan poligami dan feminisme. Berikut kutipannya yang ditulis dengan bahasa tutur.

***

Saya telah berbagi suami selama 18 tahun. Saya pernah menikah secara monogami maupun poligami. Dari keduanya, saya lebih suka pernikahan poligami.

Pandangan bahwa berbagi suami merupakan sesuatu yang tidak bermoral, merendahkan, dan merupakan bencana atau malapetaka bagi paling tidak salah satu pihak sehingga menimbulkan pederitaan dan kesusahan sepanjang hidupnya, dianggap sebagai fakta tak terbantahkan oleh mereka yang meyakini bahwa perkawinan monogami adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan.

Sayangnya, kebanyakan umat Islam sekarang, menerima pendapat yang demikian itu.

Saya sangat yakin bahwa perempuan akan berkembang maju dengan pesat jika mereka tidak terlalu terpaku dengan pemikiran bahwa berbagi suami dengan perempuan lain merupakan sebuah penghinaan atas feminisme.

Kenyataanya, saya katakan bahwa jika seseorang ingin melihat feminisme yang sebenarnya dilakukan, mereka akan menemukannya di rumahtangga poligami yang kooperatif dan penuh cinta! Bahkan lebih jauh saya katakan: oleh karena betapa potensialnya keuntungan yang didapat keluarga dengan lebih dari satu istri, poligami harus dimasukkan dalam piagam HAM perempuan.

Bagi saya, feminisme artinya 'pro-perempuan'. Saya menanggap diri sendiri sebagai seorang feminis, ketika saya masih bersekolah dan kuliah dulu. Dan saya yakin bahwa pekerjaan yang sama harus mendapat upah yang sama tanpa melihat jenis kelamin. Saya juga percaya akan adanya kesalahan dalam budaya, seperti sunat bagi perempuan dan membunuh atas dasar kehormatan, yang semuanya itu merupakan bentuk penindasan.

Namun saya melepas label feminis itu dari aborsi, lesbianisme, ketidakmampuan wanita Eropa menerima perbedaan budaya dari wanita non-Eropa, generalisasi atas pria dan maskulinitas sebagai antifeminisme dan menyamakannya dengan feminisme.

Sebut seorang misoginis (pembenci wanita) sebagai seorang misoginis. Tapi, perlu diingat bahwa tidak semua laki-laki menindas perempuan. Banyak diantara mereka, meskipun tidak semuanya, yang memiliki cinta dan penghormatan yang begitu besar kepada kita 'mahluk yang memiliki rahim'.

Menurut saya, gerakan feminisme mengambil jalan yang salah ketika mereka keliru mengenali bahwa feminis yang sebenarnya adalah merangkul feminitas mereka. Bahwa perempuan tidak harus 'seperti' laki-laki agar bisa berdiri sejajar dengan mereka. Dan bahwa sifat saling ketergantungan antar jenis kelamin merupakan sesuatu yang seharus dihargai dan bukannya dinafikan.

Dalam pandangan saya, feminis yang ideal itu mencintai dan menghormati sifat-sifat kemanusiaan; baik laki-laki maupun perempuan. Dia tidak menghapus kenyataan bahwa kebanyakan laki-laki itu sifatnya cenderung untuk berpoligini (memiliki banyak pasangan). Dan tidak pula ia mencela perilaku poligini itu sebagai perbuatan yang tidak bermoral atau tidak beradat.

Kebanyakan wanita tidak bisa memberikan hati dan perasaan mereka kepada lebih dari satu pria, sementara pria bisa mencintai sekaligus berkomitmen kepada lebih dari satu wanita pada waktu yang sama.

Seorang feminis yang percaya diri itu adalah yang sadar bahwa sifat alami suaminya yang cenderung untuk berpoligini tidak akan merusak harga dirinya. Ia memiliki empati kepada perempuan lain yang ingin menikah tapi belum bisa, karena berbagai alasan belum menemukan seorang laki-laki bujang yang bisa diajak berumahtangga.

Jadi, ketika seorang istri baru memasuki kehidupan pasangan tersebut, tidakkah muncul rasa cemburu dari dalam hati masing-masing wanita yang menjadi istri itu? Perasaan cemburu biasanya ada dan dianggap sebagai reaksi 'alami' yang dimunculkan oleh semua wanita yang menjalaninya. Yang mana hal itu dianggap sebagai 'bukti nyata' dari perasaan cinta seorang istri atas suaminya.

Saya menyatakan tidak setuju dengan pendapat tersebut. Kecemburuan, hanya menunjukkan perasaan ketidakamanan seorang wanita, yang mungkin sangat tergantung pada diri wanita itu sendiri dan hubungannya dengan suaminya. Cemburu dalam hal ini bisa dibilang 'normal' jika memenuhi harapan dan kenyataannya didukung oleh masyarakat. Tapi, tidak selalu berarti bersifat 'alami', karena banyak perempuan yang tidak merasa cemburu jika berbagi suami dengan perempuan lain.

Kecembuaruan adalah produk dari perasaan ketidakamanan dan persaingan.

Kebanyakan feminis akan setuju dengan Nabi Muhammad Shalallahu'alai Wa Sallam yang memperingatkan kita agar tidak meninggikan mahar atas anak gadis kita. Dengan kata lain, kita tidak seharusnya mengajarkan untuk menghargai diri mereka berdasarkan kecantikan atau materi. Jika kita mengajarkan yang demikian, maka hanya akan menambah persaingan tidak alami di kalangan perempuan dan menumpulkan kemampuan mereka untuk menyadari apa yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.

Berdasarkan sebuah ayat dalam surat Al-Falaq, saya menentang pemahanan yang mengatakan bahwa perempuan 'berhak' untuk cemburu. Surat Al-Falaq mengajarkan kita untuk berlindung pada Allah dari perasaan dengki terhadap orang lain dan berlindung dari perasaan cemburu (iri) yang bersemayam dalam hati. Peringatan itu jelas menunjukkan bahwa sifat ini dapat merusak dan perasaan tersebut harus dikendalikan. Semuanya itu membutuhkan perubahan baik dalam pemikiran dan tingkahlaku.

Saya tidak bisa menyangkal bahwa telah beribu-ribu tahun 'cemburu' dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, bahwa seorang wanita pasti harus berperang melawan perasaan cemburunya jika ia mencurigai ada wanita lain yang jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan suaminya. Tapi seharusnya masyarakat tidak membenarkan cemburu itu sebagai respon yang natural, dan tidak juga membuat para wanita merasa bersalah karena memberekan reksi cemburu kepada wanita lain. Masyarakat jusru seharusnya menasihati dan mendukung wanita itu untuk mengatasi penyakit spiritualnya tersebut.

Perempuan adalah mahluk yang sangat penyayang. Jika dia mau, dia bisa dengan sangat nyaman membagi suaminya dengan perempuan lain. Apakah perempuan moderen tidak menghargai waktu 'cuti', untuk sedikit meluangkan waktu merindukan dan mengharap-harap kedatangan suaminya tercinta? Dia tahu di mana suaminya berada dan dengan siapa. Dengan berbagi suami, ia bisa merasakan dunia bujang dan sekaligus dunia rumahtangga. Jika para wanita saling menghormati, saling menyukai dan bahkan saling menyayangi, maka sebuah ikatan persaudaraan yang sangat kuat akan terbina.

Saya pernah bertemu dengan tiga wanita muslim yang menikahi seorang pria yang sama. Ketiga-tiganya mengatakan, ketika mereka tidak merindukan suaminya, mereka sangat merindukan persaudaraan sebagai sesama istri.

Ingatlah hal ini, bahwa Allah Maha Adil dan Ia memperbolehkan poligami.

Tidak selamanya bahwa poligini itu tidak adil. Sayangnya, justru inilah yang banyak ditemui dalam rumahtangga poligami yang ada sekarang, setidaknya sampai para wanita bisa mengatasi tekanan sosial yang mendesak mereka agar tidak menyukai perkawinan tersebut dan para pria bisa berlaku adil.

Keadaan yang menyedihkan ini, menunjukkan betapa jauh sudah muslim laki-laki dan perempuan terpisah dari fitrah agama kita. Betapa kita telah lupa bagaimana cara berperilaku terhadap sesama, dan betapa kita telah kehilangan pemahaman atas nilai-nilai keluarga Islami.

"Berapa banyak karunia Allah yang akan terus kita pungkiri?"[di/atlm/hidayatullah.com]

No comments:

Post a Comment