18.7.10

Wisata Keluarga


Keluarga bukan seperti mesin yang bisa dipaksa terus bergerak tanpa ada istirahat. Dan salah satu bentuk istirahat keluarga adalah dengan rihlah atau wisata. Sayangnya, tidak semua rihlah bisa menyegarkan. Karena kurang teliti, rihlah bisa sangat mengkhawatirkan.

Dari sudut pandang mana pun, psikologi maupun syar'i, rihlah memang jalan keluar yang paling pas buat mengatasi kejenuhan keluarga. Dengan kunjungan ke tempat-tempat indah seperti pegunungan atau pantai, semangat keluarga bisa kembali disegarkan.

Sayangnya, rihlah selalu akrab dengan yang namanya uang. Hampir semua bagian rihlah berujung pada uang yang tidak sedikit: ongkos kendaraan, biaya makan, dan sewa penginapan.

Mungkin buat mereka yang berkocek tebal, biaya tiga bagian tadi tidak jadi masalah. Dengan uang, semua jadi sangat gampang. Tapi buat yang pas-pasan, hitung-hitungan biayanya jadi sangat memberatkan. Untuk itu, perlu akal-akalan agar rihlah bisa berjalan.

Dari tiga biaya tadi: transport, konsumsi, dan penginapan, satu yang sulit disiasati. Yaitu, rumah istirahat yang nyaman dan aman. Tidak heran jika bagian inilah yang menyedot pengeluaran jadi sangat mahal. Kalau kurang ulet mencari jalan keluar, rihlah cuma sekadar khayalan. Setidaknya, kesimpulan itulah yang kini sedang dirasai Bu Indun.

Lima tahun sudah, ibu tiga anak ini merindukan rihlah keluarga. Sejak hari pernikahannya, Bu Indun dan suami selalu gagal bisa rihlah. Ketika sebelum punya anak, ia khawatir kalau rihlah bisa menjadi fitnah. Karena tidak tertutup kemungkinan, orang menganggap Bu Indun sedang pacaran. Jadi, jangankan bisa nginap di vila berdua dengan suami, sekadar kunjungan ke tempat wisata pun jadi sangat mengkhawatirkan. Ia tidak ingin ada orang yang menyimpulkan kalau wanita berjilbab ikut pacaran.

Untuk mengubur fitnah itu, Bu Indun lebih sreg rihlah kalau dengan anak-anak. "Tunggu anak-anak bisa ikut, Bang," ujar Bu Indun ke suami. Padahal waktu itu, anak pertama pun masih dalam kandungan. Dan ternyata, mengajak anak-anak sangat tidak mudah. Anak pertama baru enam bulan, yang kedua sudah nongkrong di kandungan. Begitulah, hingga anak ketiga sudah bisa jalan.

Sekarang, Bu Indun dan suami bertekad agar rihlah bisa berjalan. Ongkos kendaraan umum sudah dianggap cukup, begitu pun dengan makan. Diusahakan agar makanan bisa disiapkan dari rumah. Kalaupun di penginapan ada dapur, paling cuma buat menghangatkan makanan. Dan yang sangat menguatkan tekad Bu Indun dan suami, ada vila yang bisa dipakai secara gratis. Bos suami Bu Indun mempersilakan vila kerabatnya untuk dipakai. "Vila itu sudah sangat lama tak dipakai, sayang nggak dimanfaatkan," ucap suami Bu Indun mengulang penuturan bosnya. Yap. Biar cuma semalam, ada kenangan indah buat sejarah keluarga. Bismillah.

Siang itu, Bu Indun dan keluarga sudah berada di vila. Lokasinya begitu nyaman, dikelilingi bukit kaki Gunung Gede Pangrango. Halamannya pun lumayan luas, dihiasi dengan taman bunga dan rerumputan. Begitu hijau. Begitu asri.

Rasanya, Bu Indun sedang memasuki dunia baru yang lain dari biasanya. Segala penatnya di Jakarta spontan lenyap. Tingkah anak-anak yang selama di Jakarta kadang menyebalkan. Kini, tampak lucu. Keriangan mereka di saat berlarian melengkapi keindahan vila yang dikelilingi perkebunan teh.

"Aneh ya, Bang. Kenapa jarang dipake?" tanya Bu Indun ke suami. Sambil menyeruput teh hangat, suami Bu Indun mengangguk pelan. "Maklum orang kaya, Dik," ucap sang suami datar. Senyumnya pun sontak melebar ketika si bungsu terlihat berguling di atas rumput.

Orang kaya memang aneh. Bu Indun mulai menerawang. Buat apa beli vila kalau nggak pernah dipake. Bukankah ongkos perawatan terus bergulir. Biaya buat penjaga, listrik, pajak bumi bangunan, dan lain-lain. Belum lagi barang-barang antik yang butuh pengamanan dan pemeliharaan. Berapa duit yang keluar cuma untuk ditelantarkan.

Ketika Magrib menjelang, Bu Indun tampak sibuk menyiapkan masakan di dapur. Ia begitu nyaman di dapur yang sangat beda dengan yang di rumah. Perabot serba steenles. Kompornya pun dengan gas yang sudah tertata rapi, menyatu dengan kompor. Tidak seperti di rumah Bu Indun yang semrawut. "Subhanallah! Andai tiap hari bisa begini," gumam Bu Indun sambil memeriksa kelengkapan perabot dapur.

"Dik, makan yuk!" suara suami Bu Indun yang tiba-tiba ada di belakangnya. Bu Indun pun menutup lamunannya. Ia segera menyiapkan makan sore buat sekeluarga. "Nggak salat dulu, Bang?" ucap Bu Indun sambil mondar-mandir di area dapur. Tapi, yang ditanya seperti tak di tempat. "Ah, mungkin dijamak ke Isya," gumam Bu Indun kemudian.

Setelah siap, Bu Indun membawakan air minum ke meja makan. Ia sempat kagum dengan tingkah tiga anaknya yang sedang khusyuk makan bersama sang ayah. Tidak ada tingkah canda, berebut piring, atau merengek karena kurang lauk. Semua tertib menikmati makanan. "Ah, mungkin ini pengaruh cuaca pegunungan yang sejuk," ucap batin Bu Indun lega. Dan ia pun ikut makan bersama.

Ketika sedang mencuci piring, Bu Indun mendengar pintu depan diketuk orang. "Assalamu'alaikum!" Bu Indun segera membukakan pintu. Ternyata, suami dan tiga anaknya nongol dari balik pintu. "Salam likum, Mi!" ucap mereka hampir bersamaan. Tapi, yang mesti menjawab tetap diam. Bu Indun bingung. Ia baru tersadar, bukankah suami dan tiga anak baru makan bersama. Kenapa tiba-tiba ada di luar?

"Umi ini gimana? Kan sebelum magrib tadi, Abi sama anak-anak pergi ke masjid dekat sini. Sekalian ngobrol sama Kang Uus, penjaga vila!" jelas suami Bu Indun agak heran. "Iya, Mi. Air wudhunya dingin, deh," ucap si sulung menimpali. "Emangnya ada apa, Mi?" tanya suami Bu Indun kemudian.

Bu Indun tidak menjawab apa-apa. Wajahnya tiba-tiba pucat. Ia pun meminta suami dan anak-anaknya untuk berkemas-kemas pulang ke Jakarta. (muhammadnuh@eramuslim.com)

No comments:

Post a Comment