13.7.10

Sebuah Muara Pendidikan Bernama Ibu

Oleh Nur Rachmawati

Pagi ini saya berenang, sebuah hal yang baru setelah beberapa tahun belakangan saya tinggalkan. Dan saya belajar banyak pagi ini dari seorang ibu muda yang kebetulan bersama 3 orang anaknya. Anak laki-laki yang paling besar kira-kira 8 tahun, yang kedua mungkin 5 tahun sementara yang paling kecil sekitar 3 tahun. Yang paling besar sudah belajar berenang sendiri walaupun dikedalaman 1 meter, anak yang kedua dengan pelampung di kedua lengannya, sementara yang paling kecil duduk nyaman di ban yang di desain khusus untuk anak-anak, berwarna-warni lucu dengan dua lubang di tengah untuk kedua kakinya.

Saya dan teman saya tiba-tiba dikejutkan oleh suara berisik kecipak air yang bukan main riuhnya, kami berdua berhenti sejenak mencari sumber suara itu dan kemudian tersenyum setelah sadar suara itu datang dari si Ibu yang sedang berenang entah dengan gaya apa sehingga membuat kakinya kecipakan (ada ya bahasa Indonesia kecipakan?:p) penuh riak air dan mengeluarkan suara yang ribut sekali. Masih didekat anak-anaknya, dia terus saja berenang dengan gaya yang sama, saya menyebutnya gaya angin ribut.

Setelah dirasa cukup, dia berhenti dan mengajarkan anaknya yang sulung berenang ”mana? Biar Mama liat kakimu, belum benar itu gerakannya, coba lagi”, dan kami berdua jadi tertawa geli mendengar komentar si ibu tentang cara berenang anak sulungnya itu. Rasanya seperti ingin komentar ”ayolah Ibu, bagaimana kau bisa mengharapkan anakmu berenang dengan baik kalau caramu berenang masih dengan gaya angin ribut itu?”. Saya bukan perenang yang baik juga sebenarnya, tapi ada sesuatu pelajaran yang bisa saya ambil dari ibu itu. Pelajaran moral nomor dua belas: kalau ingin pandai berenang, mintalah ayahmu menikah dengan putri duyung:p-

Beberapa minggu yang lalu saya juga membaca sebuah buku yang menurut saya menarik walaupun agak berat, judul buku itu Desperately Seeking Paradise: a journey of a sceptical moslem tulisan dari seorang penulis Inggris kelahiran Pakistan, seorang Muslim. Di salah satu Bab di buku itu menceritakan tentang proses pembelajaran penulis dalam mengenal huruf hijaiyah dan membaca al-quran dari ibunya, orang pertama yang mengajarinya cara membaca, menjelaskan arti dari tiap bacaan dan menerangkan makna yang terkandung di dalamnya, termasuk beberapa peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat quran tersebut.

Keluarga muslim kecil itu adalah imigran Pakistan yang dibawa ayah mereka ke Inggris untuk mengadu nasib di sana, bayangkan berada dalam lingkungan minoritas di mana pendidikan agama adalah suatu hal yang langka sementara kebutuhan ekonomi memaksa sang ayah berada di luar rumah meninggalkan keluarga disebagian waktu luangnya. Maka ibu adalah sekolah pertama di mana anak belajar segala sesuatu tentang hidup, menanamkan keimanan sedari kecil.

Maka sayapun belajar mencerna, apakah kelak saya akan menjadi ibu pertama di mana kelak akan mengajarkan anak-anak saya sesuatu yang belum saya kuasai benar atau menjadi ibu kedua di mana anak-anak saya kelak akan belajar dengan cara yang lebih baik. Maka semua itupun tergantung kepada saya sekarang, maukah saya belajar atau minimal berusaha memampukan diri memenuhi kebutuhan intelegensi anak-anak saya dalam lingkungan terdekatnya? Di antara orang-orang yang mencintainya tanpa batas.

Membayangkan sebuah data statistik yang menyebutkan bahwa hanya 3% ibu di Indonesia yang berpendidikan tinggi rasanya miris sekali. Bagaimana mungkin akan lahir generasi-generasi unggulan kalau satu-satunya sumber pendidikan yang di dapat di rumah hanya ala kadarnya? Pendidikan formal hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan terbatas dari sekian banyak kebutuhan intelegensi anak lainnya bukan? Bagaimana bisa mengharapkan sekolah –unggulan sekalipun!- menghasilkan anak-anak yang tidak hanya punya Intelegensi Quotion yang tinggi tapi juga Emotional Quotion yang baik sementara pendidikan paling awal dirumah tidak mampu membentengi anak dengan keimanan yang baik?

Seseorang datang menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik?, Rasulullah SAW menjawab: Ibumu, kemudian dia bertanya lagi: kemudian siapa?, Rasulullah SAW menjawab: Kemudian ibumu, dia bertanya lagi: kemudian siapa?, Rasulullah SAW menjawab: Kemudian ibumu, dia bertanya lagi: Kemudian ibumu, dia bertanya lagi: Kemudian siapa?, Rasulullah SAW menjawab: kemudian ayahmu. (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim – 1478)

Allahu Rabbi, kalaulah kita kaum wanita diberi sedemikian tingginya kemuliaan oleh Rasulullah kita tercinta sudah sepatutnya pula kita berusaha semampu kita mendekatkan diri dengan kriteria itu...

December 27th 2006 Happy belated mother’s day Mom, I love you more then anything I could ever possibly think of! Unconditionally;-)

No comments:

Post a Comment